Aku Tidak Tahu Judul yang Tepat. Aku Hanya Mengadu. 03:22

Tidak pernah sekalipun, aku merindu. Tidak pada wajah, kata, segala tentangmu. Menyebut namamu dalam doaku, adalah hal yang melelahkan.

Mana kutahu tanggal lahirmu! Kita berbincang saja, itu langka. Jangan kesal karena aku tidak memberi kado. Kau kan juga tidak beri aku kado.

Simpan saja senyum kita. Mulutku pegal untuk terus senyum sementara hatiku mengerut. Aku tidak suka basa-basi, terutama denganmu, tapi toh kita lakukan juga. Aku tahu kau tidak mau bicara lama-lama, aku juga sama. Aku masuk kamar saja, tidur.

Menyebut namamu dalam doaku, itu susah. Hati dan pikir menyerang aku, sepakat ’tidak’ untuk namamu. Aku mencoba tulus, menyebut namamu dengan tulus. Aku mencoba...

Tuhan, apakah doa ini akan berlangsung lama sekali? Ya atau tidak, tolong topang aku. Aku ingin sekali ini genap, bagi ibu dari keponankanku.

Untuk Keponakan Sayang 22:48

Pagi ini aku bangun dengan setumpuk rindu. Berkali mimpi tentangmu. Kamu belum bisa baca, jadi dengar saja...


Keponakan sayang, apa kabar? Aku kangen...
Sudah beratus kali turun hujan, jari kita tidak saling bertautan. Apa kamu sudah bisa bicara? Terakhir kali, kamu hanya teriak-teriak dengan bahasa yang lucu. Apa larimu sudah kencang? Terakhir kali, kamu menyelinap masuk ke kamarku.

Keponakan sayang, ingat aku kan? Aku tantemu, bukan sekedar orang asing yang gemar mencubit pipimu. Ingat aku kan? Aku saja ingat kamu, masa kamu tidak? Aku saja selalu rindu, apa kamu juga?

Keponakan sayang, suatu nanti, aku akan membawamu ke gereja. Mungkin kita akan dimarahi, biar saja! Kemudian kita akan menulis nama Tuhan yang tercinta dengan krayon pink. Menggambar pelangi dan bunga-bunga, memenuhi buku gambarmu, yang kita gambar spesial untuk Tuhan.

Bila malam tiba, aku bersyukur. Akhirnya dapat bertemu kamu di mimpi. Ingat, aku tantemu, bukan orang asing! Saat ku peluk nanti, entah nyata atau mimpi, tolong jangan lari. Aku bukan orang asing...

Satu Hari yang Seperti Ini 02:23

Tuhan, aku mau mengadu
aku ingin minta sesuatu, memang kekanak-kanakan dan agak aneh
Tuhan, aku mau minta satu hari yang seperti ini:

pada pagi hari...
aku ingin bersepeda di bawah deretan pohon kapuk
buah kapuk yang pecah karena masa tuanya menetaskan kapuk putih dari sangkarnya
semilir angin pagi menerbangkan kapuk putih kian ke mari
aku bersepeda ke sana ke mari
menerjang kapuk putih yang menghujaniku
aku tertawa karena kapuk yang menempel pada rambutku

di bawah matahari pagi,
aku ingin peluh membasahi keningku
menjadi lelah bersepeda dengan cahaya pagi yang hangat

pada siang hari…
aku ingin berteduh di bawah beringin yang sangat besar
bersandar pada batang kuat coklatnya
aku ingin mencelupkan kaki ke dalam sejuknya air danau
mencipratkan airnya ke wajahku
kemudian aku berbaring di atas rumput hijau yang bercampur dengan keringnya daun yang gugur

aku ingin berputar di rumpun melati
menciumi wanginya dan menyerapi indahnya
aku ingin berguling di rumput hijau
aku ingin bersembunyi di balik ilalang

pada sore hari...
aku ingin semilir angin berhembus di telingaku
gerimis membasahi bulu mataku
titik air yang turun di pipiku
aku ingin melihat lengkungan merah jambu, kuning, hijau, , biru, di langit yang berwarna keemasan
aku ingin melihat matahari terbenam dari ujung danau

pada malam hari...
aku ingin duduk di padang rumput yang luas
memandangi bulan emas yang bulat
aku ingin tertidur sambil menghitung bintang
aku ingin naik ke bulan...

tapi Tuhan,
kalau permintaanku tidak terwujud
tidak apa, aku tidak marah
sama sekali tidak
namun, bisakah aku minta yang lain lagi?
bila itu tidak nyata, bisakah malam ini aku bermimpi tentang satu hari yang seperti ini?
ku mohon...
kalau tidak juga, tidak apa ya, Tuhan
aku tidak marah...

dengan Kau yang bersamaku
dengan aku yang bersandar pada dinding kamar tanpa bintang dan bulan,
itu sudah membuatku sangat tenang
hanya bila Kau yang bersamaku
dengan aku yang memandang tembok putih tanpa lengkungan warna dan matahari yang terbenam,
itu sudah membuatku sangat senang

karena Kau tetap besamaku
akan tetap aku nikmati
satu hari yang seperti ini

Kepada yang Aku Nanti 02:28

Tanyakanlah!
Apa yang ku tahu tentangmu dan aku hanya akan tergagap menjawabnya.
Aku yakin, kau pun hanya mengetahui sedikit tentangku dan bahkan seorang teman di kelasku tahu lebih banyak darimu.
Jangan marah, karena aku tidak tahu apa jabatanmu di pekerjaanmu.
Karena aku pun tidak marah, pada kenyataan bahwa kau tidak tahu nomor teleponku yang baru.
Aneh… Padahal kita saling sayang, kita saling tatap hanya kita tidak begitu mengenal...

Aku senang, saat kau datang menjengukku yang terbaring di rumah sakit.
Hanya saja kau terlalu banyak menghabiskan waktu tanpa mengobrol denganku dan pergi begitu cepat tanpa banyak kata.
Dulu, saat kita tinggal bersama, kau terlalu banyak menonton televisi.
Kau berangkat sebelum matahari muncul dan pulang setelah matahari lama tertidur, hingga kita tidak terlalu banyak berkata-kata dan kau menonton televisi lagi.

Kadang saat ulang tahun, tahun baru, natal, tangan hangatmu memelukku.
Kini aku hanya dapat mengingat dan berharap pelukan itu datang lagi.
Hanya beberapa kali dalam setahun kau mengecup kening dan kepalaku.
Hanya beberapa kali dalam setahun kau mengacak rambutku.
Kini aku bersedih karena aku rindu rambutku yang berantakan...

Ya, aku begitu kesal karenamu!
Kadang kau membuatku merasa tidak pernah memilikimu.
Kadang kau membuatku merasa tidak pernah memiliki keponakan kecil yang berlarian ke sana ke mari.
Kadang kau membuatku merasa tidak pernah memiliki kakak ipar.
Apakah kau juga merasa tidak memilikiku?
Apakah itu begitu mengganggumu seperti juga aku?

Jangan menangis... Ceritakanlah kesedihanmu dan aku berjanji akan menyimpannya rapat dalam airmataku.
Tolong jangan diam terlalu lama karena aku rindu berbicara.
Bagaimana bisa, lututku bertahan untuk berdiri melihat kau yang terduduk lemas?

Dalam darahku, mengalir darahmu.
Dalam tetesan air dari matamu, mengalir air dari hatiku.
Selamanya kita bersaudara.
Selamanya aku menanti pelukmu.

Seperti yang dikatakan penyair ternama, Sapardi Djoko Damono:
Aku mencintaimu,
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.

02:47

CERPEN

Selama detik jam masih terngiang di telinga, selama nafas masih berhembus dan jantung masih berdegup, pengampunan masih terus berjalan. Pengampunan baru akan berhenti di liang kubur.

27 Januari, delapan tahun lalu. Seminggu setelah wisuda.
Saya tidak akan pernah lupa saat sepatu kets hitam mendarat keras di kepala saya. Kejadiannya cepat, tapi runtutannya masih saya ingat jelas. Awalnya Jim masuk ke kamar dan menghantam pipi kiri saya dengan kepalan tangannya. Gusi saya berdarah, mulut saya sedikit robek. Saya bangkit dan berteriak marah. Jim mengerang. Saya mengambil ransel dan menjejalinya dengan semua pakaian dan barang-barang saya. Dan saya pun membanting pintu tepat di depan hidungnya. Sebelumnya saya melirik sepatu kets hitamnya yang tergeletak di belakang pintu, sepatu yang saya berikan sebagai hadiah ulang tahun Jim. Sepatu termahal yang mampu saya beli setelah menabung selama tiga bulan. Saya akan berangkat ke Kalimantan untuk bekerja seminggu setelah wisuda dan berencana akan menggelar pesta perpisahan dengan Jim. Namun ulah Jim membuat saya membatalkan perpisahan itu dan pergi tanpa sepatah kata pun kepadanya. Saya tahu kenapa ia marah. Ini pasti karena Lisa…

Saya dan Jim bersahabat sejak kelas dua SMP. Masuk ke SMA dan universitas yang sama. Saya menggeluti ekonomi dan Jim masuk jurusan teknik mesin. Kami menyeberang pulau dari Medan ke Jakarta untuk kuliah, dan tinggal dalam kamar kos yang sama untuk menghemat biaya hidup. Empat tahun kuliah kami, tidak ada hal yang besar yang mengganggu persahabatan kami. Tidak ada sampai kami mengenal Lisa...

Jim menyukai Lisa sejak dua bulan pertama awal kuliah kami. Lisa satu jurusan dengan saya, hanya saja kami berbeda kelas. Memasuki semester dua, Jim mulai memberanikan diri menyapa Lisa. Kemudian saya, Jim, dan Lisa mulai berteman akrab saat akhir semester dua. Beberapa tahun selanjutnya, Jim semakin menyukai Lisa, demikian pula dengan saya.

Jim selalu membicarakan Lisa. Sebenarnya, ia menggilai Lisa. Namun saya juga merasakan hal yang sama, namun saya selalu diam. Bagaimanapun, saya tidak ingin Lisa terebut dari saya, bahkan oleh sahabat saya sendiri. Maka saya menyatakan hati saya pada Lisa dan Lisa menerima pernyataan saya. Lisa tidak pernah tahu perasaan Jim bahkan setelah saya dan Lisa memutuskan untuk bekerja di Kalimantan.

Saya selalu mengalah pada Jim! Dulu, saat Jim ingin sekali naik sepeda, saya memohon pada sepupu saya agar Jim dipinjami sepeda selama beberapa jam, dan sebagai gantinya saya akan mencuci sepedanya. Jim selalu menjadi pembaca pertama komik yang kami pinjam di perpustakaan dusun. Saya menjaganya seperti adik. Saudara saya satu-satunya.

6 Mei, empat tahun lalu.
Saya dan Lisa menikah.

21 Oktober, dua tahun lalu.
Sangat merindukan Jim. Pekerjaan yang menumpuk dan waktu 24 jam tidak pernah terasa cukup. Kehidupan berkeluarga tidak seindah yang saya bayangkan. Hubungan saya dengan Lisa terasa sangat sulit. Saat menyebalkan seperti ini, Jim selalu dapat menghibur saya. Ia selalu membuat saya tertawa. Tapi tidak akan pernah ada Jim lagi. Saya bukannya tidak tahu alamatnya, saya hanya tidak mau lagi bertemu dengannya. Sudah cukup segala yang saya berikan pada Jim, luka tiga jahitan pada bibir saya akan selalu membekas seperti luka pada hati saya.


Hari ini. 09:00 WITA

Sekretaris memberitahu saya bahwa ada telepon masuk dari seseorang bernama Sony. Saya sedang tidak ingin menerima telepon, tapi orang di balik telepon terus memaksa sekretaris saya agar saya bersedia untuk bicara dengannya. Ternyata Sony adalah teman sekerja Jim. Ia mengabarkan Jim mengalami kecelakaan saat akan berangkat kerja. Motornya terlempar saat berusaha menghindari truk yang memotong jalannya. Kepala Jim membentur keras besi pembatas jalan. Jim kritis.

font21:00 WIB
Saya sampai di Jakarta bersama Lisa. Sepanjang perjalanan, dunia terasa berputar-putar. Menginjakkan kaki di rumah sakit, bau obat terasa sangat menyengat dan saya ingin muntah. Saya mendekap erat dada saya karena jantung ini serasa ingin melompat keluar. Di depan ICU sudah berkumpul orang-orang yang tidak saya kenal, salah satunya adalah Sony.

Sony menepuk bahu saya. Ia menjelaskan bahwa Jim selalu menceritakan tentang saya kepada Sony, bahkan Jim mempunyai setumpuk album foto masa kuliah kami. Karena foto itulah Sony langsung mengenali saya.

Cerita selanjutnya membuat saya bingung. Lisa bercerita sambil terisak bahwa Jim sudah tiga kali datang ke Kalimantan. Ia menunggu diam-diam di depan kantor hanya untuk melihat saya. Jim berpesan agar Lisa tidak memberitahu bahwa ia datang. Lisa juga bilang bahwa delapan tahun lalu Lisa menyukai Jim sekaligus menyukai saya. Lisa menyatakan perasaannya kepada Jim namun Jim menolaknya karena Jim tahu saya menyukai Lisa!

Seminggu sebelum wisuda, saya bertengkar hebat dengan Ibu saya. Ketika Ibu datang dari Medan untuk acara wisuda, saya memarahinya di depan kampus dan menyuruhnya pulang. Saya sangat membenci Ibu karena ia memutuskan untuk bercerai dan menikah dengan pria lain. Saat itu di kamar kos, Jim memukul saya karena sikap saya kepada Ibu. Seumur hidup, Jim tidak pernah memiliki Ibu.

Jim tahu bahwa bila ia mengatakan alasan pemukulannya, saya akan bertambah marah. Jim menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya. Ia berencana untuk datang kembali ke Kalimantan untuk menemui saya dan mengatakan hal itu. Namun sebenarnya ia menunggu saya untuk datang kepadanya. Ia menunggu selama delapan tahun...

Saya berusaha keras mencerna tiap kata dari Lisa. Isakannya yang semakin keras memenuhi telinga saya. Saya merasa kesal sekaligus marah pada Lisa. Mengapa baru hari ini ia mengatakannya? Mengapa saat Jim terikat dengan infus? Keringat membasahi leher saya. Lutut saya lemas dan saya terjongkok di depan pintu ICU. Air mata menganak sungai membasahi kemeja saya.

23:00 WIB.
Jim menghembuskan nafas terakhir.

Epilog
Jim, delapan tahun aku membencimu. Selama itu aku selalu berharap tidak pernah mengenalmu, karena dengan demikian aku tidak perlu merasa kehilanganmu selama delapan tahun. Aku merahasiakannya bahwa sebenarnya aku sangat merindukanmu
Sejak aku keluar pintu kos delapan tahun lalu, aku ingin sekali berlari ke arahmu dan mengatakan satu kata yang kusimpan erat. Hingga saat ini, kata itu belum juga terucap. Maaf... Sejuta kali pun kuucapkan, kata itu tidak akan sampai padamu. Aku tidak ingin mengulang kisah yang sama. Aku akan segera pulang ke Medan dan menemui Mama. Mungkin Mama juga menunggu, seperti kau juga yang menungguku.

Freaky In Love 00:05

“Lo gila ya, pi? Tajir gitu lo tolak! Sayang tauu!”
Kenapa saya sampe dicap gila kalau saya nolak doi? Walau doi punya rumah berjejer, emangnya kalau kami jadian rumahnya bakal dikasih ke saya? Lagipula saya belum siap... Saya takut...

I’m so freaky!! Beberapa kenalan (di kampus, lingkungan rumah, gereja, di mana-mana) ada aja yang bilang saya tuh aneh, karena saya belum pernah pacaran dari lahir sampai saat ini umur saya sembilan belas tahun. Dan beberapa dari mereka bilang, “padahal tampang lu kan lumayan, pi.” What?!! Saya merasa sangat terhina! Masa muka kece bak Dian Sastro ini dibilang lumayan? Gilee lu yee! *ngelawak*.

Well, inilah klarifikasi saya tentang pertanyaan orang-orang yang berputar-putar tentang misteri cinta saya *haha*. So, please... Jangan lagi tanya kenapa saya belum pernah pacaran. Tanya saja kenapa saya mirip Dian Sastro *ngelawak bagian 2*.

Pertama kali saya ditembak pas kelas lima atau enam SD, lewat telepon rumah. Respon saya adalah kesel, marah, nangis. Saya maki-maki tuh orang lewat telepon *haha*. Tragisnya, Mama dan kakak saya malah ketawa senang atas penderitaan saya T_T. Entah doi ngerjain saya atau itu penembakan sepenuh hati, saya gak peduli. Yang jelas doi serem, pernah beberapa kali doi nembak temen saya (temen saya juga sampe nangis-nangis), saya gak mauuuu!!

Bertahun setelah itu, beberapa cowo deketin saya. Dari yang sekedar sms, nelepon, atau yang langsung datang ke rumah. Caranya macem-macem, dari yang ngajak jalan, mau ngasih coklat valentine, sampe yang mau ngasih giok (coba ngasihnya berlian, i Phone 3GS, rumah berkolam renang, mungkin akan saya pertimbangkan kembali. Kalo giok rada serem en jadul -,-”) Apa cerita saya seakan-akan banyak yang deketin saya? Enggak!! Paling 3 ribu orang *haha*.

Dari semuanya, gak ada satupun yang membuat saya benar-benar percaya bahwa ia benar-benar menyukai saya, serius dengan komitmen yang ia janjikan. GAK ADA! Walaupun ada juga yang berhasil membuat saya suka pula padanya *cie cie*. But, it’s true… Saya merasa para cowo itu cuma untung-untungan deketin saya. Diterima ya syukur, ditolak ya udah. Buktinya? Beberapa bulan setelah saya tolak, doi juga udah nembak cewe lain. Bukankah kebanyakan cowo itu langsung nembak padahal cuma sekedar suka rambutnya yang berkilau dan kulitnya yang kinclong? See? Mudah sekali buat mereka katakan cinta. Bagi saya, cowo yang belum nikah itu seperti setrika yang cepet panas dan cepet dingin, sedangkan cewe seperti arang yang lama panasnya, lama pula dinginnya.

Ga masalah bila saya diledekin, dicombalangin, sama seseorang yang saya gak suka dan saya tau pasti dia gak suka sama saya :D. Masalahnya, saya bakal kesel luar biasa kalo saya dicomblangin sama seseorang yang saya gak suka dan saya tau bahwa ia suka sama saya *haha*. It’s not comfort!! I don’t like it!! really really can’t like it!! *curhat* Apa saya kejam? Apa saya gak ngerti rasanya ditolak, patah hati? Saya ngerti, banget! Kan saya pernah ngerasain :D. Karena…

Saya menyukai seseorang untuk waktu yang sangat lama.

Saya bener-bener suka! Banget, banget! Dalam diam, saya memerhatikannya, tersenyum karena senyumnya, saya melihatnya dari kejauhan (kaya psikopat yak? wakakakak). Saya nangis karena rasa yang saya pendam, dan belum ada satupun cowo sampai saat ini yang bikin saya nangis karena rasa nano-nano di hati saya. Saya nangis karena ia memalingkan wajahnya saat saya mencoba menyampaikan getaran cinta dari mata hitam saya *lebaaay*. Saya ga pernah terang-terangan nunjukin kalau saya suka. Seringkali, saat senyumnya tertuju pada saya, maka saya bakal menuju tempat sepi dan loncat kegirangan. Karena takut ketauan kakak, saya coret namanya dari diary. Saya bakal duduk di tempat terjauh yang bisa ia liat, dan duduk di tempat terdekat yang ga bisa ia liat. Yeah, my first love broke my heart for the first time. Ihiiiiks T_T. Saya ingin sekali lepas dari doi, dan Tuhan memakai waktu, sahabat, kesibukan, kondisi, semuanya, yang membantu saya untuk menghapus kenangan, rasa nano-nano, dan sebagainya dari kisah patah hati. Sampai saya benar-benar lupa rasanya, sampai hati menjadi hambar padanya...

Semasa SMA, saya berkomitmen untuk gak pacaran. Untuk apa? Sampai sekarang saya belum tau :P. Alasan yang saya ngiangkan di telinga saya, karena saya melakukan itu untuk Tuhan. Saya ingin melayani dan mengikut Dia tanpa terikat pada perasaan apapun kepada cowo manapun. Entah, apakah itu semacam pelarian atau apa... Yang jelas, saya sangat bersyukur punya sahabat-sahabat yang menguatkan saya pada komitmen saya, terutama karena Yesus tetap menjaga komitmen dan hati saya, meskipun Ia tau untuk apa saya melakukannya...

Saya ingin sekali memiliki seseorang yang dapat berbagi rahasia, seorang cowo pastinya. Yang antar-jemput saya *bukan tukang ojek!*, yang menggenggam tangan saya, yang duduk di samping saya saat ibadah di gereja. Nahloh, ketauan juga akhirnya kenapa saya mau juga punya kekasih :P. Supaya kedengaran rohani, saya menambahkan daftar: supaya kami bisa membaca Alkitab bersama dan sharing tentang kebaikan Yesus. Padahal saya tau pasti, saya memang belum siap...

Sejak kelas dua SMA saya sudah mendoakan pasangan hidup. Saat itu saya pikir, bila nanti saya jadian, rasa sayang saya ke dia harus sejauh tangan kanan dan kiri yang membentuk jarak 30cm, dan sayang dia ke saya harus membentuk jarak 60cm. Waktu itu saya gak tau kenapa saya memutuskan begitu. Tapi yah, sekarang saya dengan berani bilang bahwa saya takut. Semakin sulit seseorang mendapatkan saya dan semakin besar sayangnya, maka semakin sulit ia melepas saya.

Segudang prinsip saya miliki, ia haruslah seorang yang begini, begitu, dsb, dst, etc. Saya bilang pada Tuhan, “jadilah seperti yang Tuhan inginkan”, namun saya masih menyebut ia harus begini, begitu. Waktu ada kakak kelas yang PDKT, saya uring-uringan. Kenapa? Soalnya dia rohani banget. Dewasa, baik, pelayanan pula. Saya takut karena doa orang benar besar kuasanya. Gimanee kalo dia doain saya? Terus Tuhan ngabulin doanya? Saya kan gak suka sama doi. Oh God, ga mauuu!!! fortunately, saya punya sahabat yang lebih waras dari saya *haha*. Kira-kira dia bilang gini, “Tuhan juga gak bakal maksain perasaan lo kali”. *Dueeeeeenk*. Bener banget yak! Tuhan gak bakal maksa saya. Intinya, Dia gak bakal menyatukan saya dengan seorang yang tidak saya cintai! Tuhan itu paling tau hati saya, kebutuhan saya. Bertahun saya mendoakan pasangan hidup, mungkin Tuhan bilang gini, “ya ampun anak-Ku, hati kamu aja belum siap. Aku mau mempersiapkan kamu dulu, setelah itu tunggu aja tanggal mainnya.” .

Beberapa cowo saya kagumi, dari yang seumuran, berondong, juga yang lebih tua :P. Semuanya datang dan pergi, seperti angin sore yang tidak tentu datangnya. Sementara saya mencari-cari sosok yang membuat saya aman dan nyaman, temen-temen saya udah gonta-ganti pasangan. Bahkan yang berpuluh kali pacaran juga ada (seumuran saya), waktu itu dia bahkan empatin cowonya (udah kagak zaman duain cowo, sekarang harus empat :P). Everybody’s changing... How about me? Temen-temen sekolah minggu saya udah punya pacar, saya beloom *sedih menyayat hati* ihiiiks T_T. Teman kampus ada juga yang kagak pacaran, tapi langsung married! Apakah terlalu aneh bila saya mau seseorang itu menjadi yang pertama dan terakhir buat saya? Saya juga bertanya-tanya, apakah ada cowo di luar sana yang juga belum pernah jadian? Apa dia jelek banget sampe gak ada yang mau sama doi atau emang komitmennya sama dengan saya? Karena saya merasa agak terganggu, bila saya menjadikanya yang pertama, masa dia jadiin saya yang ketiga atau yang kesembilan? :’(.

“Tuhan, inikah aku yang adalah freaky? Salahkah saat menginginkan seseorang yang menjadi pertama dan terakhir buatku? Atau memang aku harus mencoba sebuah atau beberapa buah kegagalan dulu, baru menjalin komitmen lagi dengan yang lain?

Kutipan dari buku “Learning to Be a Woman” yang saya baca di buku “Lady in waiting”: “Seorang wanita tidaklah lahir sebagai seorang wanita. Ia tidak pula menjadi wanita saat ia mencuci pakaiannya, bahkan tidak juga waktu ia bergabung dengan gerakan pembebasan kaum wanita. Seorang wanita menjadi seorang wanita saat ia menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan baginya.”

Seumur hidup, saya tidak akan menemukan seseorang yang mencintai saya seperti Yesus! Tidak ada satu pun cowo yang memuaskan saya seperti Yesus! Hanya Yesus satu-satunya, hanya Ia yang menjadi pertama dan terakhir bagi saya. Ia yang memegang erat hati saya, Ia yang menjaga saya sedemikian rupa. Entah kapan sampai akhirnya saya siap, sampai Tuhan bilang, “sudah selesai.” Dunia boleh bilang saya ini aneh. Tapi Yesus bilang terus saja berjalan, jadi saya akan mendengar saja apa yang Yesus katakan.

Boleh saja saya mencari-cari doi dalam ibadah siswa, mahasiswa, retreat, tempat dan acara yang sepertinya banyak cowo ideal yang sangat mencintai Yesus. Tapi, siapa yang tau apa cara Tuhan dan siapa yang Ia siapkan untuk saya? Yang saya tau, Ia bekerja dengan cinta. Entah di tempat yang rohani, atau tempat yang rasanya kagak ada unsur rohaninya, Ia selalu membuat kejutan yang manis buat saya .

Dengan pertanyaan yang terus menerus berputar, saya yakin Tuhan akan menjawabnya, baik dengan cara yang luar biasa maupun lewat hal yang sederhana. “Come on, bokap gue yang di dunia aje gak bakal restuin gue dengan cowo yang preman, yang galak dan penyiksa kaum wanita, apalagi Bokap gue yang di sorga!” Saya menantikan ia yang menggenggam tangan saya adalah ia yang sangat mencintai Yesus, yang dapat menguatkan saya di zaman akhir ini.

Jadi saat orang-orang nanya, “napa lo belom pernah pacaran?” Disertai embel-embel, “padahal tampang lo kan lumayan, pi”. Saya cukup nyengir dan gak perlu ribut-ribut ceritain kisah cinta saya. Sampai ada yang mau jodohin saya ke temen cowonya, “cakep pi, pinter, kuliah di *sensor* udah gitu Kristen pula. Nih FB-nya, namanya *sensor*, mau gue kenalin gak?” Lagi-lagi saya cukup nyengir lebar. Sampai temen-temen kampus saya bingung kenapa mereka gak pernah denger kisah cinta saya. “Well guys, gue bukannya gak mau cerita. Tapi gue mau ceritain sapee? Wong kagak ada yang lagi gue suka en kagak ada juga yang lagi PDKT sama gue!!” *puas kalian?!* Ihikks T_T

Meskipun begitu, pernikahan adalah hal yang juga berputar dalam pikiran saya. “Kalo gue pacaran umur 20, nikah paling cepet 25, tahan gak yaa 5 taun pacaran?” See? Betapa membingungkannya saya ini. Mungkin saya bakal gagal, nangis, dan temen-temen saya bakal bosen denger kisah saya. Well, sementara menunggu, bukankah lebih baik untuk menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tuhan ketimbang bermain-main dengan pertanyaan yang memusingkan? Single itu bukan kutuk! Ini adalah masa yang sangat istimewa bersama Tuhan.” .

penantian


kunanti kamu dengan sungguh
dengan setumpuk rindu
menjaga hati
mengunci kata untuk sembarang mengumbar rasa
menggulung jari
tak tersentuh dengan jari yang lain

menatap setiap wajah
namun sekuat tenaga menjaga mata
yang indah, kuharap itu kamu!
saat si hidung mancung menggenggam tanganmu
baiklah, aku keliru!

terkadang terpikir tentang
sedang apa, suka apa, siapa namamu?
kapan, dimana aku dan kamu berjumpa?
kubawa kamu dalam doa
menjaga komitmen untuk kisah
menahan gelora untuk setia

karena aku, seperti juga kamu, percaya
semua kan indah dan tepat pada waktu-Nya

Aku Cinta Padamu Pada Jarak Dua Puluh Meter 00:02

Ini saya buat ketika menyusun kembali kristal-kristal lalu yang tinggal kepingan. Bukannya membuat rasa kembali ada, hanya sekedar menyusun peristiwa dan sedikit menulisnya dalam kata-kata yang mudah-mudahan dapat merangkumnya .

Aku Cinta Padamu Pada Jarak Dua Puluh Meter

sadarku raib ketika bola mata hitam menghujam
berdegupan bagai seribu kuda perang, jantungku tiada berlogika
tak dapat kutarik napas seutuhnya
karena kau, karena kau...

wahai rupawan, kau bangsawan dalam balutan sutra
hitam legam rambutmu
panah tajam matamu
kau ksatria tanpa tombak
kau pujangga tanpa kata

kini aku bertanya pada cermin di hadapku
cermin, cermin,
katakan, siapa aku?
hingga begitu berani mengintip sang ksatria dari balik semak-semak tinggi
hingga begitu lekat menghimpit bayang sang rupawan pada jarak dua puluh meter
katakan siapa aku!
pikiranku bersamudera ke awan-awan kelabu, awan tanpa hujan juga tanpa cahaya matahari
ah tidak! jangan jawab siapa aku wahai cermin bijaksana, kumohon, jangan...
untuk alasan apapun, ini tidak berterima!
karena bahkan untuk bayangnya, tak ada sisa...

melayang aku dalam pusaran waktu
waktuku
bertahun, berterima dengan suka dan gelisah
kuikhlasi walau air dari hati mengalir

cermin, cermin,
jaga rapat rahasiaku
bahwa aku tak dapat mendekati sang pujangga lebih dari jarak yang seharusnya, dua puluh meter
karena aku malu, karena hatiku akan nyeri lagi

wahai kau, rupawan
selamanya kita berbeda
kini biarkan aku bicara, diatas perbedaan yang menyedihkan
aku cinta padamu pada jarak dua puluh meter


Ini saya dedikasikan untuk sang rupawan. Tapi... Cinta? Ah, ga tau deh! Pokoknya anda pria pertama (dan satu-satunya sampai saat ini) yang bikin saya nangis >,< (sekarang sih udah engga lagi,* hehe*) Mungkin anda ga pernah tau, biar saja! Lagipula saya ga pernah niat buat nyimpen rahasia sampai akhir kok :D. Saya akan tunggu sampai kita udah beruban dan keriput, sampai kita ompong, baru saya bilang bahwa anda cinta pertama saya :D *haha*. Ah, indahnya nyeri hati. Terngiang bagai lagu tidur :’).

cinta-Ku padamu 03:04

Cinta-Ku padamu hembusan angin yang meniup-niup keningmu dari kelelahan hari,

menyusuri hati dan menyejukkanmu akan mimpi

Cinta-Ku padamu lengkungan warna yang menempel pada biru langit dan jatuh pada senyummu juga lekat di hatimu yang merah jambu

Cinta-Ku padamu cemerlang bintang yang menyelinap jendela mengisi pancar matamu

Cinta-Ku padamu matahari pagi yang setia bahkan ketika kau mendua dan mengaburkan janji untuk selamanya

Ketika kau tak juga mengerti mengapa Kulakukan dan bertanya apa yang harus kaulakukan, rasakan saja cinta-Ku yang sederhana dalam makna nyata yang selalu ada,

dan berbahagialah… bersama-Ku

Cinta-Ku padamu

adalah matiku,

yang Ku-nyatakan dalam debaran jantungmu.

Surat Cinta Untuk Mama 04:52

Catatan harian.

Sebelumnya tak pernah terlintas bahkan dalam semenit waktu yang dianugerahkan Tuhan pada saya,, bahwa saatnya tiba juga untuk mengungkapkan sebuah kejujuran yang agak segan saya sampaikan, pada Mama, seorang yang darah dan DNA-nya menari-nari dalam tubuh saya, seorang yang lebih dari “istimewa”, seorang yang merajut hari-hari saya, sampai hari ini, hari di mana saya cukup berani untuk “melindas” setumpuk gengsi. Nah, inilah saatnya…

Sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat sama sekali. Namun tak pernah sekalipun adegan kekerasan antara Ibu dan anak di sinetron terjadi antara Mama dan aku (syukurlah kita gak pernah nonton sinetron ya, Ma). Bingung juga rasanya memenuhi apa yang aku sebut sebagai “proyek kejujuran” ini. Bukan karena aku ga tahu apa yang harus aku tulis, tapi karena terlalu banyak hal tentang Mama. Ya, terlalu banyak Ma...

Suatu malam aku bermimpi melihat pelangi yang dikelilingi bintang-bintang. Seseorang memangku dan merangkulku. Tangannya hangat dan lembut. Dalam mimpi itu aku ga pernah lihat wajahnya, tapi aku tahu, seseorang itu adalah Mama. Adalah rangkulan, sentuhan, keberadaan Mama yang membuat aku aman dan nyaman saat aku berpikir akan meninggalkan dunia ini karena sakit yang amat sangat. Kenakalan masa kecil yang masih berbekas saat darah mengalir deras dari hidungku, darah bertetesan dari pelipis, lutut, dan bagian tubuh yang lain, semuanya menjadi baik-baik saja kerena Mama.

Aku mengeluh dari pagi hingga malam, hingga pagi lagi ketika aku pilek. Mama tetap mencuci piring saat asam urat kambuh, tetap memasak walau gula darah meroket, bahkan kami tidak tahu Mama sakit karena Mama tidak mengeluh! Saat aku dirawat di rumah sakit selama lima hari, beberapa malam Mama ga tidur karena memijiti kepalaku, tanganku, semua bagian tubuh yang terasa sakit.. Mama ga pernah mengeluh bahkan saat Mama tidur di lantai hanya dengan kain tipis sebagai alas di bawah bekunya udara AC.

Mama menemaniku mengerjakan tugas sampai jam setengah empat pagi. Mama mencabut dulu kabel setrika untuk memasakkan sarapan yang sebenarnya bisa aku lakukan sendiri, hanya saja aku tidak mau masak! Mama duduk di dekat pintu untuk menungguku pulang padahal belum lewat jam sepuluh malam.

Tanpa segan aku menceritakan tentang para pria yang mencoba mendekatiku, dan menyimak dengan penuh konsentrasi tentang tipe pria seperti apa yang Mama inginkan untuk menjadi pasanganku.

Rahasia yang ga pernah aku sangka, Mama ceritakan padaku. Jantungku berdegup kencang saat Mama membagikan kisah tentang betapa kacaunya keluarga ini dan Mama tetap bertahan. Aku tahu masih banyak cerita, tapi Mama menyimpannya sampai aku siap.

Betapa sakitnya hatiku saat mendapati Mama menangis, sendiri, tanpa suara, agar tak seorangpun dari keluarga ini mengetahui bahwa Mama sedang menangis. Mama selalu menyimpan beban dan masalah untuk Mama sendiri. Menyimpannya sehingga sakit dalam tubuh dan hati Mama menjadi milik Mama sendiri. Itu sama sekali ga baik Ma!! Kita adalah satu keluarga, dukacita adalah dukacita bersama, sukacitapun kita rasakan bersama. Jadi tolonglah, bagikan kesusahan Mama pada kami, karena kami perduli, kami ingin berbagi.

Aku selalu merasa, Mama lebih mementingkan orang lain ketimbang kepentingan Mama sendiri. Seperti tak ada lelahnya Mama membantu, bahkan bila itu membuat Mama kelelahan, darah tinggi, asam urat, kolesterol, diabetes, dan segala macam penyakit membuat Mama sakit. Bukannya kami melarang Mama untuk membantu orang lain, tapi tolonglah Ma, jaga kesehatan Mama. Sekali lagi tolonglah Ma, ada saatnya Mama beraktivitas, ada saatnya Mama beristirahat.

Satu hal yang aku jamin benar-benar Mama sukai dan ini ga mungkin salah, Mama paling suka memberi, ya kan? Mama memberi bahkan saat tidak diberi, memaafkan hal yang aku tak habis pikir bisa Mama maafkan. Senyum Mama mengembang saat memberi, bukan senyum bangga dan sombong, tapi senyum yang penuh kasih. Banyak anak-anak tetangga yang setelah lelah bermain datang kepada Mama untuk meminta minum, makanan, atau sekedar bermain di ruang tamu. ah, Mama memang terlampau baik.

Mamalah yang pertama kali mengajarkan aku berdoa, yang selalu membujuk aku untuk sekolah minggu ketimbang menonton Doraemon. Mama selalu memberikan kasih sayang yang nyata, yang selalu ada untuk keluarga ini. Mama bersabar di bawah tekanan, bersyukur dalam himpitan.

Telah banyak mengalami kehilangan, ketika anak perempuan kedua Mama, adik perempuan, adik laki-laki, meninggalkan luka mendalam ketika mereka harus pergi dari bumi. Telah banyak berkorban, sebagai anak pertama perempuan (dan tinggal satu-satunya perempuan), Mama rela ga bisa membaca, ga bisa menulis, karena Mama ga sekolah demi semua adik laki-laki Mama.

Seringkali aku membantah Mama, mengatakan bahwa Mama ga mengerti perasaan dan keinginan seorang gadis sepertiku. Dan aku membanting pintu saat berangkat kuliah, ketika sebelumnya berteriak marah. Mama diam saja. Dan ketika aku pulang, Mama tetap menyapa, memintaku untuk makan. Ini terjadi, untuk lima anak Mama yang masih ada di bumi.

Dosenku bilang, melahirkan itu berarti seribu satu rasa sakit. Enam anak itu artinya seribu satu dikali enam rasa sakit. Dan berjuta nyeri di hati Mama dari keluarga ini. Tapi, apa itu? Sebuah tawa selalu ada pada Mama, ah indahnya.

Maaf Ma, untuk setiap kesalahan yang kami lakukan. Aku sayang Mama, kami semua sayang Mama. Tapi sebesar apapun sayang kami, kami ga sepenuhnya memahami Mama. Itu karena, kami belum menjadi orangtua. Maka aku memohon pada Tuhan dengan sangat agar memberi Mama kesehatan, kekuatan, sukacita, sehingga aku dapat berkata pada Mama “oh, begini toh rasanya jadi seorang Mama”. 

Catatan: Tulisan ini adalah salah satu tugas retorika waktu saya semester tiga, tapi ada beberapa hal yang saya tambahi dan saya kurangi. Setelah nulis, tulisan kita wajib dibaca sama para ibu dan setelah itu para ibu menjawab tulisan kita. Berhubung Mama ga bisa baca, jadinya saya bacain sambil malu-malu *hehe*. Jawaban Mama setelah itu adalah: nangis sambil meluk saya :D. Jadi inget waktu keadaan keluarga saya lagi susah-susahnya (kelas satu SMP kalau ga salah) Mama lagi mellow pas masak, saya bacain Matius 6:25-34, Mama nangis juga :D. Dari tulisan ini, ada yang beranggapan bahwa saya anak yang ga tau diri? Wah, sama dong! Saya juga ngerasa ga tau diri :D. Maka saya amat bersyukur, karena ibu seperti apa lagi yang bisa menangani saya? Saya yakin, memang cuma Mama! Mama bukan ibu sempurna yang memiliki segala, tapi adalah Mama terbaik dalam keluarga saya .

Mungkin Aku Dihipnotis 02:33

Cerpen.


Mungkin aku dihipnotis, jelas aku diracuni. Semua tentangmu adalah palsu, dan aku dengan senang hati tertipu. Aku menggilaimu dengan sepenuh hati, dan waktuku hanya padamu. Segenap rindu tak pernah habis, bertambah kuat dan kukuh, dan pikiranku roboh, dan hatiku hancur, dan hidupku hancur.

Siang dan malam hanya untukmu. Siksa dan dera aku terima. Air mata tak jadi soal. Ayah dan Ibu tak lagi ada dalam ruang hatiku. Sahabat tak pernah jadi yang terindu. Bahkan Yang Maha Kuasa tak lagi kukenal. Kutolak semua, hanya kau yang tersisa. Pun seluruh hidupku, kau yang berkuasa. Jadi apa yang tersisa?

Aku mengaduh, kau tak mau tahu. Dengan begitu cerdik, kau rayu aku. Dan aku dengan rindu, datang lagi padamu.

Tidak pernah tahu, kapan aku sadar? Kapan aku tidak sadar? Semua waktu terasa sama saja, sebentar melayang, sebentar terempas dan aku kesakitan. Dan aku datang lagi padamu, dan aku jatuh hati lagi padamu.

Harus jujur kah? Baiklah. AKU SANGAT KESEPIAN DAN AKU SANGAT KESAKITAN!

Mengapa semua berubah saat kau datang? Tidak pernah aku merasakan sensasi luar biasa saat dengan sadar aku mencobamu untuk pertama kalinya, lalu tanpa sadar aku mencobamu untuk tak terhitung kalinya. Kau manis dalam kerongkonganku, lembut dalam pikiranku, kau sensasi luar biasa dalam hatiku. Lalu aku mencoba dengan tusukan di lengan, dan aku makin suka. Ini candu, aku gila dalam candu.

Mengapa semua hilang saat kau datang? Kini aku tiada memiliki selimut hangat untuk menghangatkan kantung air mataku yang membeku, yang tak lagi dapat menetes karena terlalu banyak air yang mengalir darinya. Kutingggalkan semua, semua! Aku malu, aku takut, aku jatuh dalam candu.

Dengan kesadaran tingkat tinggi kunyatakan pada seluruh dunia: kaulah yang terburuk dalam hidupku. Memilihmu adalah keputusan paling ceroboh dari setiap kecerobohanku. Waktuku bersamamu adalah waktu paling sia-sia. Aku patah hati, dan barulah aku tahu ternyata air mata dapat mengalir sedemikian deras karena hati yang patah.

Aku malu dan takut kembali pada orangtua, pada sahabat, pada Tuhan. Aku meninggalkan mereka dan mereka tak akan pernah sudi menerimaku kembali, itu firasatku. Dan aku gembira sampai sesak nafas karena firasatku salah! Mereka menerimaku kembali, dengan air mata yang deras yang juga mengalir deras dari mataku. Aku datang hanya dengan pakaian yang melekat pada tubuhku, tanpa membawa bingkisan sebagai tanda penyesalan. Namun mereka menyambutku bak anak raja, memeluk aku sedemikian erat karena aku telah pulang.

Dan dengan kesadaran paling tinggi yang baru kali ini kualami, aku menyatakan pada dunia: bahwa Tuhan menerimaku dengan seutuhnya. Ia bahkan menantikan aku hari demi hari, aku tahu ini, karena Ia yang memberi tahu kepadaku. Setelah sekian lama, aku merasakan lagi kasih yang dahulu kutinggalkan. Dan sedikitpun kasih-Nya tak berubah, malah aku bertambah dekat pada-Nya. Aku tahu ini, karena ia yang menunjukkannya. Kini hatiku menyatu kembali, baru aku tahu ternyata hati yang patah dapat sembuh pula. Aku tahu ini, karena aku mengalami dan merasakannya.

Aku menyesal, tapi itu tidak berguna. Sakit hatiku bukan lagi topik utama. Tidak berguna dan tidak menjadi topik utama KARENA TUHAN SUDAH MEMULIHKAN DAN MEMAAFKAN AKU, dan pun aku MEMAAFKAN DIRIKU SENDIRI. Kini aku tahu, kau hadir bukan karena kebetulan. Aku menjadi semakin kuat saat aku tidak terpaku pada masa lalu, melainkan mengarahkan hidupku pada masa yang kujelang. Aku dan Tuhan sudah berjanji, kami akan selalu berjalan bersama, INI JANJI UNTUK SELAMANYA.

Sekapur Sirih 04:24

Catatan Harian.

Ciluk ba! :D

Salam persaudaraan!^^

Sabtu malam, dua puluh Maret 2010 jam tujuh lebih 36 menit waktu setempat, muncul tulisan di handphone saya yang menyatakan bahwa blog bermerk kupukupuberbahasa.blogspot.com telah resmi menjadi milik saya. Lah, saya shock aja gituuu! Selama saya terbang kian kemari di taman berbunga, saya ga pernah mimpiin punya blog, ga pernah berangan mengindahkan blog dengan pesona saya *hehe*.

Jadi asal muasalnya, tanpa basa-basi seseorang bertanya: kalau kamu besar mau jadi apa? *lho*. Bukan, bukan, maksud saya ia bertanya: kalau punya blog, mau dikasih nama apa? Setelah mengajukan beberapa nama, saya memutuskan memakai merk kupukupuberbahasa :D. Seseorang itu lalu meng’sms *bahasa apa ini?!* saya bahwa blog saya sudah jadi! Dan ketika saya lihat, lah udah ada sepuluh tulisan saya di blog ini :D. Seseorang itu adalah Leony Octavia, yang beken dengan nama “luni markonih”, dengan panggilan sayang saya, “ka’luni” atau “ka’lenong” *hehe*.

Saya suka nulis, tapi saya ga mau tulisan saya dibaca orang lain. Kenapa eh kenapa? Karena eh karena, saya takut jadi terkenal terus dikejar-kejar wartawan *ampuuun, saya jangan ditimpuk!* Sebenarnya, saya ngerasa cerita yang saya buat biasa-biasa aja, masih banyaaaaak tulisan yang jauh lebih okeh dari tulisan saya, inilah yang bikin saya minder *hehe*. Saya juga takut kelemahan dan kekurangan saya diketahui khalayak luas. Selain itu, saya juga merasa memiliki beban saat saya menulis hal-hal yang rohani. Secara moral, hati, logika, dan perasaan *tsaaah* saya harus mempertangungjawabkan tulisan saya, kepada masyarakat, terlebih kepada Tuhan.
Karena gregetan dengan prinsip saya, beberapa sahabat nyuruh saya nulis di buletin komunitas. Lalu ka’luni, bujuk rayu saya buat nulis di note facebook milik komunitas :P Nah, itulah awal saya berkomitmen untuk ngirim dua tulisan ke ka’luni, yang kemudian disiarkan oleh beliau 

Seringkali, minder dan malu itu datang lagi. Tapi ka’luni bilang, “jangan pernah menganggap remeh talenta yang udah Tuhan kasih”. Nahloh, saya mau tangkis dengan jurus apa lagi coba? Jadi saya pun mulai membuka diri untuk berbicara melalui tulisan :D. Setelah Tuhan, ka’luni adalah pendukung terbesar dalam karir saya *haha*. Beliau selalu memberikan motivasi yang positif, dan kata-kata yang HARUS saya dengar, bukan yang ingin saya dengar  Setelah Tuhan, seringkali ka’lunilah yang pertama kali membaca tulisan saya :D Ka’luni juga yang sering menuliskan ayat Alkitab dalam tulisan saya, dan membuat judul yang memuaskan, karena saya ga suka bikin judul :D. Rasanya tulisan saya jadi aneh kalau saya judulkan, saya jadi geli kalau baca judul yang saya bikin *hehe*. Tapi sekarang udah mulai belajar bikin judul :P

Terus kenapa harus kupu-kupu? Saya suka liat binatang yang lucu, juga suka dengan berbagai warna di bumi, tapi saya bukan pencinta salah satu jenis binatang atau warna tertentu. Jadi, kenapa harus kupu-kupu? Ini alasannya:
Seringkali saya merasa ga berguna, jadi seseorang yang biasa-biasa aja, ga ada spesialnya. Tapi ini sms dari seorang sahabat saya, “kupu-kupu tidak tau warna sayap mereka, tapi semua orang tau betapa indahnya mereka. Seperti kamu, kamu tidak tau betapa istimewanya kamu di mata-Nya”. Dalam sekali saudara-saudara! :D Sms ini lalu mengingatkan saya pada ayat ini, Yesaya 43:4a, “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia dan Aku mengasihi engkau,” Waw! Mengetahui bahwa saya begitu istimewa bagi Tuhan, saya ga bisa terus diam. Saya mau jadi kupu-kupu yang menyiarkan keindahan Tuhan dalam hidup saya, dan mengekspresikan kebaikan Tuhan melalui keterampilan berbahasa kupu-kupu, yakni membaca, menyimak, berbicara, dan menulis, tentang Tuhan, yang menjadi sumber tulisan saya, yang membuat cerita-cerita menarik bukan hanya dalam hidup saya, tapi kita semua, dan mereka yang telah pergi 

Cerpen, puisi, maupun catatan harian saya, dapat pemirsa saksikan di blog ini :D. Saya berharap tulisan ini jadi berkat buat para pembaca . Kalau ada yang mau copy-paste *emang ada yang mau yak? haha!* silahkan, silahkan, tapi merk blog ini tolong dilampirkan yaa, supaya saya tambah beken *hihi*.

Saya rindu, bukan saya yang terlihat dalam ucapan syukur, doa, harapan, dan keinginan yang saya rangkaikan dalam blog ini, tapi saya rindu bahwa Tuhan saja yang ditinggikan .

Terima kasih tak terhingga kepada Sang Cahaya Utama,
dan bintang-bintang yang menginspirasi saya.
Kalian membuat saya menjadi kupu-kupu yang spesial,
dan membuat hari-hari saya menjadi istimewa .

Kupu-kupu Berbahasa 03:15

Puisi.

kupu-kupu melayang dalam kata
isyarat dalam suka
sandi dalam bisu
duka dan semua terangkum dalam...
kata.

di bawah judul pertama, kedua, kesejuta
kupu-kupu bersandiwara
dalam tarian bahasa
lakon seribu, dua ribu

kupu-kupu bersenandung
dalam lagu yang tak dikenal
dalam lagu yang dikenal

menulis,
membaca,
mendengar,
berbicara
dengan hati
dengan berani

membuka mata
dan lihatlah bumi mengerling ketika...

ketika kupu-kupu berbahasa

21 maret 2010 21.40

Pilihan Pelangi 03:09

Cerpen.

Namanya Pelangi. Ia hidup di bumi dan karenanya ia juga memiliki pilihan-pilihan seperti makhluk bumi lainnya, manusia.

Pelangi dapat dengan bebas menaruh adiknya di atas lemari, sehingga sang adik dapat berhenti mengacaukan pembuatan makalahnya. Namun Pelangi memilih untuk bermain bersama adik kecil selama lima belas menit, lalu berkutat kembali di depan komputer.

Berbohong sedikit pastilah hal yang lumrah untuk gadis seusianya, lagipula Mama tidak akan mengerti bahwa semua gadis di dunia membutuhkan itu. Tapi Pelangi memilih mengaku pada Mama bahwa ia mengambil selembar uang berwarna biru untuk membeli perfume, walaupun ia tahu bahwa pengakuan itu berarti tidak akan ada uang saku selama tiga hari.

Setelah putus, Pelangi dapat menjalin hubungan yang lebih berani, lebih menghebohkan, untuk menunjukkan pada mantannya, pada kekasih mantannya, bahwa ia adalah salah satu gadis terkenal dan dapat dengan mudah mencari pengganti. Tapi Pelangi memilih untuk menunggu, dan menanti yang terbaik untuknya.

Selalu ada kesempatan untuk mengintip “majalah kaum dewasa” milik seorang penghuni kelasnya, namun Pelangi memilih untuk menutup mata walaupun ia penasaran juga.
Pergi ke mall pada hari Minggu bersama teman-teman yang lama tak ditemuinya pastilah amat sangat menyenangkan, tapi Pelangi tetap memilih untuk beribadah di gereja walau ia tahu, ia akan dicap sebagai “si sok rohani”.

Pelangi tak dapat memilih di keluarga mana ia akan dilahirkan, dibesarkan. Tapi ia dapat pergi dari rumah dan bila beruntung, ia akan diasuh oleh keluarga tanpa “piring terbang”. Meskipun demikian, ternyata Pelangi memilih untuk bertahan, dan tetap berlutut dalam doanya.

Ia tidak dapat menentukan, apa yang akan terjadi esok hari, untuk hal apa lagi air matanya akan tertumpah. Ia bisa mengambil sebotol obat serangga dan meminumnya dalam sepuluh detik. Tapi ia memilih untuk berharap dan percaya pada Sang Pencipta yang menciptakan hari-hari dalam hidupnya.

Begitu banyak pilihan, sangat membingungkan. Tidak semua pilihan yang dipilih membuat Pelangi senang, tenang, puas diri. Kadang ia merasa takut, khawatir, tertuduh, benarkah ini atau itu adalah pilihan yang tepat?

Meskipun pikiran dan hati Pelangi bingung, dan semakin bingung dengan semua pandangan dan pendapat berjuta orang di sekelilingnya, tapi hidup bagi Tuhan tak pernah disesalinya. Pelangi selalu memiliki pillihan. Ia bisa saja lari, sembunyi, menolak. Tapi Pelangi memilih untuk menghadapinya. Benar-benar tak ragu sedikitpun ia, bahwa hidup bagi Tuhan yang begitu mengasihi Pelangi, adalah pilihan yang paling menyenangkan untuknya. Pilihan yang kadang sulit... Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin kan?

Pelangi sudah memilih. Nah, bagaimana denganmu?

Aku Rindu.. 01:59

Cerpen.

Hari-hari seperti ini datang lagi, saat gemuruh menderu jantungku, saat pikiranku kalut dan hatiku ciut, sepi menjalari tiap tulang, mataku terpejam dan kemudian terbuka, aku tak dapat terlelap, tak dapat pula untuk tetap terjaga, aku rindu kekasihku...

Maaf, maaf... Untuk kesekian kalinya aku terbenam dalam makalah dan berita yang harus kumuat dalam buletin kampus, dan karena itu aku belum sempat menjawab pesan kekasihku, belum dapat menemui kekasihku, kini aku rindu dan aku kalut...

Percayalah, kertas-kertas berisi berita yang membuatku menutup mata empat jam setiap harinya, tak dapat merenggut waktuku lebih lama lagi. Karena sehebat apapun berita yang kususun, tak pernah sehebat kisahku dengan kekasihku. Aku rindu...

Penaku menari dan memercikkan tinta tentang cinta, suaraku mengalun dan membisikkan nama kekasihku. Aku tersenyum mengingat masa-masa indah, masa-masa paling luar biasa dalam hidupku. Saat kisah kasih goyah, kekasihku selalu meyakinkanku bahwa akulah yang tercinta, dan semua akan baik-baik saja. Betapa lembutnya kekasihku, betapa herannya aku. Kekasihku membuatku istimewa, membuatku menjadi wanita seutuhnya, karena aku memiliki seluruh cinta kekasihku. Bagiku, tiada yang lain, menempati posisi nomor satu dalam hatiku, satu-satunya tempat dalam pikiranku, pertama dan terakhir dalam hidupku, hanya kekasihku, yang tercinta, yang antara aku dan kekasihku saling memiliki, kisah cinta termegah.

Rinduku sepenuh mati, bukan separuhnya lagi.

Sungguh aku tidak perduli, apakah berita yang membuat ku hanya terpejam empat jam setiap harinya, akan diwartakan atau tidak. Aku benar-benar tidak mau tahu, apakah guru besar pemimpin redaksi akan memuji atau menertawakan artikelku. Hal itu terasa sangat tidak berguna, saat waktuku tak lagi kunikmati bersama kekasihku.

Rinduku mengiris sendi, tidak hanya tergores lagi.

Aku sangat rindu pada Mu, Yesusku.

Untuk yang Lebih dari Permata 01:56

Cerpen.

Kasihan kau, Via. Kau begitu tergila-gila pada seorang pria yang tidak akan pernah kau miliki. Pria itu berhidung mancung, selalu dengan kemeja yang licin. Tingginya tak lebih dari 170 cm, dagunya runcing dan itu membuat ketampanannya semakin kuat. Sebagian rambutnya berwarna hitam dan sebagian berwarna putih. Matanya ramah dengan kerutan di sekelilingnya. Bila pria itu tersenyum, kerutan di sekitar bibirnya akan tertarik. Pria itu humoris dan cerdas. Ia bijak dan berwibawa. Karena ia seorang Pendeta yang sudah berkeluarga, maka kau tidak akan pernah memilikinya.

Kasihan kau, Via. Hatimu tertancap pada seorang pria yang tak mungkin kau raih. Pria itu bermata tajam, dan mata itu memancarkan kecerdasan dan wibawa tiada tara. Kacamata tanpa bingkai membuat pesonanya semakin menjadi-jadi. Suaranya merdu dan senyumnya luar biasa dengan lesung pipinya. Tingginya tak lebih dari 170 cm dan ia berkulit coklat. Setiap kali pria itu berbicara dengan buku di tangannya, kau akan tahan diam dengan fokus yang sulit dipercaya selama dua jam pelajaran, sesuatu yang tidak biasa untuk gadis tujuh belas tahun seperti mu. Hampir tiap malam kau membaca buku yang selalu dipegang pria itu saat mengajar di kelas, dan karenanya kau hampir hapal isi buku tersebut.

Via, malang benar kau. Berpikir kalau ini tidak wajar dan kau merasa sedih. “Kenapa bukan pemain basket, atau seorang anggota OSIS yang aku sukai?” demikian kau terus berpikir dan makin lama kau makin terpuruk saja. Kau merasa berbeda, merasa aneh, karena pria dalam hatimu adalah pria yang sudah berkeluarga dan pria dengan selisih usia dua puluh tahun.

Setelah sedih yang berkepanjangan, kau sadar bahwa... Bahwa sudah lama sekali kau berangan-angan “seandainya, ya seandainya, Ayahku seperti dia”. Ah Via, air matamu mengalir lagi, saat kau sadar bahwa... Bahwa kau menginginkan sosok Ayah berhidung mancung dengan senyum ramah. Atau Ayah dengan mata tajam nan cerdas dan penuh wibawa. Kini kau tidak lagi merasa aneh, tapi kau hancur. Kenyataan, perasaan, dan keinginan membuat kau semakin sedih. Kau memiliki Ayah yang luar biasa tampan, itu pendapat semua orang. Tapi bahkan ketampanan tak akan pernah menyembuhkan luka pada punggungmu, luka yang terbentuk dari ikat pinggang Ayah. Tidak pula luka pada hatimu, yang kian lama kian sakit. Ah Via, kasihan benar kau...

Akan menjadi orang tua seperti apa kita nanti? Mungkin hal itu masih jauh dari pikiran dan angan-angan, masih sepuluh, delapan, atau lima tahun lagi saat kita berkeluarga. Akankah yang lebih dari permata, yang kita nantikan dalam kehidupan keluarga kita kelak, yakni anak-anak kita, mengalami kepahitan yang anak-anak lain rasakan atau yang pernah atau sedang kita alami? Bukan hal yang terlalu dini bagi kita untuk belajar menjadi seorang yang penuh kasih dan menjadi peduli. Walau masih sepuluh, delapan, atau lima tahun lagi, untuk yang lebih dari permata dalam kehidupan berkeluarga kita kelak, yakni anak-anak pilihan-Nya, anak-anak yang lebih dari permata bagi Tuhan dan yang begitu dikasihi-Nya melebihi apapun.

(Mungkin) Aku Tidak Bisa 03:40

Cerpen.

Tak lama kemudian tangisnya pecah dan ia berlari dengan mata terpejam. Karena matanya terpejam dan kakinya terus berlari, ia tersandung. Ia tersandung dan yang lain tertawa kian keras. Ia tersandung maka ia menangis kian keras. Aku diam, tak tertawa, tak menangis. Kusaksikan Tasya di teriakkan “monster kelinci” karena kedua gigi depannya lebih besar dari gigi yang lain, dan karena tubuhnya lebih besar bahkan dari anak laki-laki. Itu terjadi tiap hari sampai Tasya pindah rumah. Tak ada lagi teman bermain “ibu-ibu-an”. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, karena aku masih kecil, masih tujuh tahun.

Aku bukan satu-satunya yang tahu di dunia ini. Tapi semua orang hanya diam. Saat gambar tangan kepala sekolah menempel jelas pada pipi Michael, kami hanya menarik napas tertahan. “Bukan Michael yang pakai uang tabungan kelas kami selama satu tahun, Bapak Kepala Sekolah. Bukan!! Yang pakai Pak Joni wali kelas kami!!”, aku ingin berteriak begitu, tapi aku tidak bisa. Karena aku murid SMP dan dia guru.

Masih merah dan basah. Rupanya ia begitu kesal dan marah hingga ia mencakar-cakar lengannya tanpa sadar bahwa itu sakit. Katanya ia sayang ibunya dan ibunya sayang padanya. Hanya saja saat itu ibunya mabuk dan untuk kesekian kalinya ibunya menyeretnya untuk tidur di halaman, tanpa bantal. Tiga minggu kemudian seorang yang lain menunjukkan luka di nadi tangannya. Ia bilang ia hampir mengiris uratnya, tapi tidak jadi karena ia takut, sangat takut. Ia juga bilang beberapa hari belakangan ia tidur dengan pisau dapur di bawah bantalnya, kalau-kalau Ayahnya mengamuk lagi, maka keputusannya sudah bulat untuk mengiris uratnya. Tiga kesamaan dari mereka adalah: mereka berdua perempuan, mereka berdua sahabat baikku, dan kami sembilan belas tahun. Aku hancur, karena aku tak bisa melakukan apa pun, aku tak bisa mencampuri masalah keluarga orang lain.

Ku lihat tangannya masuk ke tas pengunjung toko itu. Sebuah dompet ungu dengan hiasan bunga mawar berpindah dengan cepatnya ke dalam jaket kulitnya. Aku tak bisa mencegahnya. Karena dia laki-laki dan aku perempuan.

Bibirnya gemetar dan napasnya tersengal. Ia bilang ia ingin bercerai karena suaminya seringkali memukulnya. Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Ini antara anakku dan suaminya.

Cucuku menjerit. Cucuku sakit, kanker. Jarum suntik menusuki tubuhnya, senantiasa. Ia masih sembilan tahun, ia perempuan, dan ia cucu yang paling ku sayang. Biarkan tubuhku yang hancur, tapi jangan cucuku! Aku yang renta tak bisa berbuat apa-apa. Aku bukan Tuhan.

Disini aku terbaring. Setiap kali aku menarik napas, aku serasa mengangkat seember cucian. Mataku tak dapat melihat dengan jelas, hanya terdengar desah napas suamiku yang duduk di kananku. Sepi sekali disini, dan aku dapat mencium aroma bunga pemakaman.

Tanpa sadar, pikiranku melayang bebas ke masa lalu. Seandainya, waktu itu aku dapat berlari mengejar Tasya, dan mengatakan kalau aku lebih suka bermain ibu-ibuan dengannya dibanding bermain dengan anak-anak yang selalu mengejeknya. Seandainya aku melakukannya, mungkin, hanya kemungkinan, Tasya tidak akan pindah dan aku tidak akan menangis.

Seandainya aku mengatakan Pak Joni yang memakai uang kelas, mungkin Michael tidak akan dipermalukan, dan hatiku tidak akan retak melihat laki-laki pertama yang kusayangi difitnah seperti itu.

Kalau saja aku memberikan waktu sedikit lebih banyak, seandainya aku lebih sering mengunjungi mereka, seandainya aku lebih memilih berbicara dengan mereka dibanding mengerjakan artikel yang saat itu kupersiapkan untuk kukirim ke koran, mungkin kedua sahabatku tidak melukai tubuh mereka dan mencoba untuk mati.

Aku rindu sahabatku, anakku, cucuku, bahkan orang-orang yang tidak kukenal. Air mata mereka jatuh ke bahuku, dan aku tak dapat berkata apa pun, tidak melakukan apa pun. Kini aku kesepian, dan dalam waktu dekat suamiku juga akan kesepian. Dalam diam, aku menangis dan merasa hancur. Apa yang dapat kulakukan untuk suamiku? Tidak ada, karena aku hampir mati.

Seringkali kita memutuskan “aku tidak bisa. Tidak bisa karena aku masih muda, karena aku perempuan, aku terbatas, aku tidak kaya”, dan daftar panjang lainnya. Kini pikir kembali, benarkah demikian? Sebelum terlambat , pikirlah! Yang berlalu tidak akan kembali, dan yang terlambat akan sangat sulit diobati. Penyesalan akan sesuatu yang tidak kita lakukan akan terasa berkali lipat lebih menyakitkan dibandingkan bila kita melakukan hal yang kita yakini, walaupun hal itu tidak diingat orang, walaupun hal itu terasa tak berharga. Nah, sudahkah kita mengambil keputusan?

Sepuluh Pertanyaan untuk Dua Ribu Sepuluh 01:54

Cerpen.

Satu. Kalau musim kemarau lagi-lagi lebih panjang dari musim hujan, bagaimana Pak Joni dan keluarganya menghadapi hari-hari yang panas tanpa air di rumahnya?

Dua. Ketika Nenek di ujung jalan terbatuk-batuk di depan rumahnya, akankah orang-orang diam saja sambil berpura-pura tak mendengar (walaupun batuknya memecah cakrawala) dan mereka lewat begitu saja seperti yang selalu terjadi?

Tiga. Mungkinkah orang-orang akan sembuh dari kebutaan mereka dan melihat dengan jelas bahwa tempat sampah begitu besar dan kosongnya sehingga mereka tak perlu lagi membuang sampah di selokan?

Empat. Setelah anak-anak itu pingsan dan muntah-muntah, apakah kepala sekolah di sekolah dasar persimpangan empat akan berhenti menghukum anak didik mereka, padahal anak-anak itu cuma terlambat dua menit?

Lima. Sedemikian menariknyakah berbisik-bisik di ujung jalan sampai para ibu lupa memandikan bayinya?

Enam. Mungkinkah bapak-bapak di pos ronda akan berhenti main kartu dan menonton televisi bersama anak-anak dan isteri mereka?

Tujuh. Apakah Tika lebih suka mencubiti adiknya sampai biru keunguan ketimbang bermain barbie?

Delapan. Karena anak kelima ibu itu sakit dan mereka tak punya rumah, mungkinkah pemilik rumah akan bersabar dan mengijinkan ibu yang sudah janda dan memiliki enam anak itu untuk tinggal walau hanya sebentar?

Sembilan. Apakah kasih akan punah dan menjadi legenda seperti halnya Dinosaurus?

Sepuluh. Apakah yang BISA AKU LAKUKAN untuk mereka?