02:47

CERPEN

Selama detik jam masih terngiang di telinga, selama nafas masih berhembus dan jantung masih berdegup, pengampunan masih terus berjalan. Pengampunan baru akan berhenti di liang kubur.

27 Januari, delapan tahun lalu. Seminggu setelah wisuda.
Saya tidak akan pernah lupa saat sepatu kets hitam mendarat keras di kepala saya. Kejadiannya cepat, tapi runtutannya masih saya ingat jelas. Awalnya Jim masuk ke kamar dan menghantam pipi kiri saya dengan kepalan tangannya. Gusi saya berdarah, mulut saya sedikit robek. Saya bangkit dan berteriak marah. Jim mengerang. Saya mengambil ransel dan menjejalinya dengan semua pakaian dan barang-barang saya. Dan saya pun membanting pintu tepat di depan hidungnya. Sebelumnya saya melirik sepatu kets hitamnya yang tergeletak di belakang pintu, sepatu yang saya berikan sebagai hadiah ulang tahun Jim. Sepatu termahal yang mampu saya beli setelah menabung selama tiga bulan. Saya akan berangkat ke Kalimantan untuk bekerja seminggu setelah wisuda dan berencana akan menggelar pesta perpisahan dengan Jim. Namun ulah Jim membuat saya membatalkan perpisahan itu dan pergi tanpa sepatah kata pun kepadanya. Saya tahu kenapa ia marah. Ini pasti karena Lisa…

Saya dan Jim bersahabat sejak kelas dua SMP. Masuk ke SMA dan universitas yang sama. Saya menggeluti ekonomi dan Jim masuk jurusan teknik mesin. Kami menyeberang pulau dari Medan ke Jakarta untuk kuliah, dan tinggal dalam kamar kos yang sama untuk menghemat biaya hidup. Empat tahun kuliah kami, tidak ada hal yang besar yang mengganggu persahabatan kami. Tidak ada sampai kami mengenal Lisa...

Jim menyukai Lisa sejak dua bulan pertama awal kuliah kami. Lisa satu jurusan dengan saya, hanya saja kami berbeda kelas. Memasuki semester dua, Jim mulai memberanikan diri menyapa Lisa. Kemudian saya, Jim, dan Lisa mulai berteman akrab saat akhir semester dua. Beberapa tahun selanjutnya, Jim semakin menyukai Lisa, demikian pula dengan saya.

Jim selalu membicarakan Lisa. Sebenarnya, ia menggilai Lisa. Namun saya juga merasakan hal yang sama, namun saya selalu diam. Bagaimanapun, saya tidak ingin Lisa terebut dari saya, bahkan oleh sahabat saya sendiri. Maka saya menyatakan hati saya pada Lisa dan Lisa menerima pernyataan saya. Lisa tidak pernah tahu perasaan Jim bahkan setelah saya dan Lisa memutuskan untuk bekerja di Kalimantan.

Saya selalu mengalah pada Jim! Dulu, saat Jim ingin sekali naik sepeda, saya memohon pada sepupu saya agar Jim dipinjami sepeda selama beberapa jam, dan sebagai gantinya saya akan mencuci sepedanya. Jim selalu menjadi pembaca pertama komik yang kami pinjam di perpustakaan dusun. Saya menjaganya seperti adik. Saudara saya satu-satunya.

6 Mei, empat tahun lalu.
Saya dan Lisa menikah.

21 Oktober, dua tahun lalu.
Sangat merindukan Jim. Pekerjaan yang menumpuk dan waktu 24 jam tidak pernah terasa cukup. Kehidupan berkeluarga tidak seindah yang saya bayangkan. Hubungan saya dengan Lisa terasa sangat sulit. Saat menyebalkan seperti ini, Jim selalu dapat menghibur saya. Ia selalu membuat saya tertawa. Tapi tidak akan pernah ada Jim lagi. Saya bukannya tidak tahu alamatnya, saya hanya tidak mau lagi bertemu dengannya. Sudah cukup segala yang saya berikan pada Jim, luka tiga jahitan pada bibir saya akan selalu membekas seperti luka pada hati saya.


Hari ini. 09:00 WITA

Sekretaris memberitahu saya bahwa ada telepon masuk dari seseorang bernama Sony. Saya sedang tidak ingin menerima telepon, tapi orang di balik telepon terus memaksa sekretaris saya agar saya bersedia untuk bicara dengannya. Ternyata Sony adalah teman sekerja Jim. Ia mengabarkan Jim mengalami kecelakaan saat akan berangkat kerja. Motornya terlempar saat berusaha menghindari truk yang memotong jalannya. Kepala Jim membentur keras besi pembatas jalan. Jim kritis.

font21:00 WIB
Saya sampai di Jakarta bersama Lisa. Sepanjang perjalanan, dunia terasa berputar-putar. Menginjakkan kaki di rumah sakit, bau obat terasa sangat menyengat dan saya ingin muntah. Saya mendekap erat dada saya karena jantung ini serasa ingin melompat keluar. Di depan ICU sudah berkumpul orang-orang yang tidak saya kenal, salah satunya adalah Sony.

Sony menepuk bahu saya. Ia menjelaskan bahwa Jim selalu menceritakan tentang saya kepada Sony, bahkan Jim mempunyai setumpuk album foto masa kuliah kami. Karena foto itulah Sony langsung mengenali saya.

Cerita selanjutnya membuat saya bingung. Lisa bercerita sambil terisak bahwa Jim sudah tiga kali datang ke Kalimantan. Ia menunggu diam-diam di depan kantor hanya untuk melihat saya. Jim berpesan agar Lisa tidak memberitahu bahwa ia datang. Lisa juga bilang bahwa delapan tahun lalu Lisa menyukai Jim sekaligus menyukai saya. Lisa menyatakan perasaannya kepada Jim namun Jim menolaknya karena Jim tahu saya menyukai Lisa!

Seminggu sebelum wisuda, saya bertengkar hebat dengan Ibu saya. Ketika Ibu datang dari Medan untuk acara wisuda, saya memarahinya di depan kampus dan menyuruhnya pulang. Saya sangat membenci Ibu karena ia memutuskan untuk bercerai dan menikah dengan pria lain. Saat itu di kamar kos, Jim memukul saya karena sikap saya kepada Ibu. Seumur hidup, Jim tidak pernah memiliki Ibu.

Jim tahu bahwa bila ia mengatakan alasan pemukulannya, saya akan bertambah marah. Jim menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya. Ia berencana untuk datang kembali ke Kalimantan untuk menemui saya dan mengatakan hal itu. Namun sebenarnya ia menunggu saya untuk datang kepadanya. Ia menunggu selama delapan tahun...

Saya berusaha keras mencerna tiap kata dari Lisa. Isakannya yang semakin keras memenuhi telinga saya. Saya merasa kesal sekaligus marah pada Lisa. Mengapa baru hari ini ia mengatakannya? Mengapa saat Jim terikat dengan infus? Keringat membasahi leher saya. Lutut saya lemas dan saya terjongkok di depan pintu ICU. Air mata menganak sungai membasahi kemeja saya.

23:00 WIB.
Jim menghembuskan nafas terakhir.

Epilog
Jim, delapan tahun aku membencimu. Selama itu aku selalu berharap tidak pernah mengenalmu, karena dengan demikian aku tidak perlu merasa kehilanganmu selama delapan tahun. Aku merahasiakannya bahwa sebenarnya aku sangat merindukanmu
Sejak aku keluar pintu kos delapan tahun lalu, aku ingin sekali berlari ke arahmu dan mengatakan satu kata yang kusimpan erat. Hingga saat ini, kata itu belum juga terucap. Maaf... Sejuta kali pun kuucapkan, kata itu tidak akan sampai padamu. Aku tidak ingin mengulang kisah yang sama. Aku akan segera pulang ke Medan dan menemui Mama. Mungkin Mama juga menunggu, seperti kau juga yang menungguku.

0 comments:

Post a Comment