Hatimu, Ibu.. 01:12

Cerpen.

Untuk semua Mama, selamat “Hari Mama”. Pelbagai wejangan yang kami (benar, kami semua) terima, membuat kami semakin dewasa. Walaupun sedikit banyak kami membuat hari-hari Mama menjadi sepuluh kali lebih berat, Mama asyik2 saja tuh. Mama bukan Mama yang sempurna, tapi pasti yang terbaik yang kami miliki :). Sejuta sayang dari kami untuk semua Mama :)

Ibu, kita hidup dalam dunia patriarki, dimana kaum Adam lebih tinggi dari kaum Hawa. Lebih tinggi dari derajat, hak, dari cita-cita hidup. Apakah derajat? Hanya manipulasi yang mengatasnamakan kemanusiaan dalam hal tinggi dan rendah hidup manusia. Bahkan hak terdengar sebagai gema tanpa getaran, tak ada dampak, tak ada keseimbangan.

Mengapa tidak apa bila Ibu mencuci pakaian di rumah tetangga untuk makan hari ini, dan haram bila Ayah melakukan hal yang sama? Mengapa Ibu berkeringat dan Ayah tidur-tiduran di depan TV? Mengapa cap merah tangan Ayah boleh tergambar dalam pipi Ibu sedangkan Ibu hanya boleh diam, mengeluarkan air mata diam-diam?

Kita ini laksana pemain cadangan dalam sebuah pertandingan sepakbola, yang setelah berpeluh dan berlatih habis-habisan bahkan tak pernah menjejak rumput dalam satupun pertandingan. Kita ini bak karyawan yang duduk paling belakang dalam sebuah rapat yang kurang penting (karena bila rapat penting, jangan harap kita diundang) yang setelah lembur berminggu-minggu dan kantong mata lebam, bengkak, tak kunjung disebut namanya.

Ibu memasak. Ibu memperbaiki atap. Ibu mencuci di rumah tetangga. Ibu di dapur, di kamar, di kebun, di atap, Ibu dimana-mana. Ibu tidak makan, tidak apa-apa. Ayah belum disiapkan makan, ini bahaya.

Tak pernah Dinda sesalkan Ibu adalah seorang perempuan. Dinda hanya hancur, hanya tak berdaya. Apakah revolusioner yang menyerukan pembebasan? Kita ini masih terkungkung dalam sebuah tembok batako yang bernama keluarga, yang beratap kekhawatiran tentang apa yang akan kita makan. Kita kaum feodal, dipimpin oleh para bangsawan. Sistem tirani, jangan pernah sebut demokrasi!

Oalah Ibu, hentikan cintamu! Ayah tak akan pulang, hari ini, esok, lusa. Mengapa Ibu masih bersimpuh dan menyebut “suamiku” sambil meringis? Pikiran Dinda bias. Katakan pada Dinda dengan pelan dan lambat-lambat agar Dinda mengerti, kenapa Dinda harus menyapanya dengan kata “Ayah”? Ooh tidak Ibu, Dinda tidak membencinya, karena bahkan Dinda tidak mengenalnya.

Sekali lagi Ibu, tolong hentikan cintamu. Lutut Ibu sudah lecet dan harus segera diobati. Hati Ibu patah dan harus segera dilem. Dinda sudah mencoba untuk waktu yang cukup lama menyebut “Ayah” sambil bersimpuh, namun pintu tak kunjung terbuka dan menampakkan bayangnya. Mengapa Ibu, hatimu sekeras baja? Pikirmu seteguh tanduk rusa? Imanmu, ahh bagaimana Dinda menggambarkannya? Apakah Ayah akan pulang Ibu? Ahh, Dinda jadi berharap lagi...

***

Dinda, Ayah dan Ibu adalah satu, jadi bagaimana Ibu dapat berhenti lalu bersantai sambil minum kopi sedangkan separuh dari Ibu sedang mencari-cari jalan pulang? Ayah bukannya tak mau pulang, Ayah hanya sedikit lupa jalan pulang. Ibu tak boleh tertidur, karena saat Ayah pulang nanti, Ibu harus sudah ada di pintu untuk menyambutnya masuk. Ibu dan Ayah akan sangat senang bila Dinda mau bersama-sama menyambut Ayah di pintu. Kami adalah satu, kami sudah berjanji. Ohya, soal mencuci itu tidak jadi soal, bagaimana ya Dinda, habis Ibu senang melakukannya. Ahh Ibu jadi berdebar-debar, siapkan dirimu sayang, Ayah segera pulang.

Lengkung Sempurna 01:11

Cerpen.

Rena kecil bersandar pada kursi kesayangannya. Matanya yang bulat bercahaya memandang rintik-rintik hujan yang turun dengan rapi dari langit. Rambutnya bak tirai hitam kemilau tertimpa sinar lampu, beberapa helai rambut terurai pada pipinya yang lembut dan merah jambu. Bibir tipisnya melantunkan lagu yang dikarangnya sendiri. Dua ibu jari tangan yang dimilikinya, hanya dua dari sepuluh yang seharusnya, bergerak-gerak seirama seturut alunan lagu yang dinyanyikannya.

Matanya terbelalak kagum saat seberkas warna pelan-pelan muncul di langit. Melengkung sempurna dengan kemilau jingga, hijau, merah jambu dan biru. Rena kecil menempelkan wajahnya pada kaca jendela, ingin melihat lebih jelas rupanya. Rena kecil berusaha turun dari kursi kesayangannya, tapi ia tidak punya jemari kaki, juga telapak kaki. Beruntung sang Ibu datang tepat waktu dan membawa Rena kecil menuju beranda untuk melihat lengkung sempurna di langit.

“Ibu, siapa yang menggambar langit dengan crayon?” Rena kecil bertanya pada Ibunya.

“Oh, Seorang yang sangat luar biasa”. Ibunya menjawab sambil membelai rambutnya bak tirai hitam kemilau yang tertimpa sinar lampu.

“Benarkah?”

“Tentu sayang”.

“Mengapa Dia menggambar di langit? Rena punya buku gambar yang bagus”.

“Mengapa? Agar semua orang dapat melihat keindahannya, Rena sayang”.

“Rena senang melihatnya”.

“Ya, Ibu juga”.

“Oh, Rena ingat sekarang. Pasti yang menggambar itu adalah Tuhan yang seringkali Ibu ceritakan. Benar kan Bu?”

“Benar, Rena anak pintar”.

“Rena tidak bisa menggambar seindah itu, tapi Tuhan bisa. Pasti ada yang membuat-Nya senang. Rena bisa gambar bagus kalau Rena sedang senang”.

Ibunya tersenyum dan menjawab, “Ya sayang, ada hal besar yang terjadi di Sorga dan membuat-Nya senang. Tahukah Rena apa yang membuat-Nya senang?”

Rena kecil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Karena ada seorang anak cantik yang sedang melihat ke langit dan senang melihat gambar-Nya”.

“Benarkah Ibu?”

“Tentu sayang, dan apakah Rena tahu yang lebih indah dari warna-warna di atas sana?”

Rena kecil kembali menggeleng kuat-kuat.

“Oh, adakah yang lebih indah lagi Ibu?”

“Tentu Rena sayang, yang jauh lebih indah dari warna-warna itu, adalah Rena sendiri”.

Rena kecil terbelalak heran.

“Benarkah Ibu? Rena lebih indah?”

Ibu mengangguk, tersenyum dan berkata, “Tuhan menggambar warna-warna itu untuk Rena, untuk anak tercantik yang sangat disayangi-Nya”.

Rena kecil kembali memandang warna-warna di langit, senyumnya mengembang, lebih indah, jauh lebih indah dari warna-warna di langit sana.

Rena kecil kini sudah besar. Tumpukan diagram dan kertas-kertas penuh garis mengisi hari-harinya. Rena tidur larut, Rena bangun pukul tiga pagi, Rena tenggelam dalam diagram dan kertas-kertas penuh garis. Rena besar bersandar pada kursi kesayangannya, menarik napas sepanjang yang ia mampu. Hujan yang rapi turun dari langit, membawa warna-warna yang membentuk lengkungan dari ujung ke ujung langit yang lain. Rena besar meletakkan penanya dan memandang ke langit. Beberapa kali ia melihat warna-warna di angkasa, tapi semua lengkungan warna tak lagi terasa istimewa pada masa-masanya belakangan. Ia rindu, sangat rindu, memandang warna-warna itu dari mata seorang gadis kecil, memberi waktu yang tulus untuk warna-warna di langit. Ia ingin, sangat ingin, melihat warna-warna menakjubkan dari hati gadis kecil, tak ada kesombongan, hanya kekaguman.

Mutiara menitik dari mata Rena yang bulat bercahaya. Rena rindu hari-harinya yang teduh, Rena rindu Ibu. Seperti bunga mawar dengan tetesan embun, Rena tersenyum dan berkata, “Ibu, suatu hari nanti kita akan menikmati kembali warna-warna di langit, bukan hanya kita berdua Bu, tapi kita bertiga. Rena, Ibu, dan Tuhan”.

Rena besar terlelap dalam sejuknya hari setelah rintik-rintik hujan yang rapi. Lengkung sempurna di langit turun ke bumi, dan menetap dalam senyum Rena.

Ketika Es Tak Ingin Bersama Api 01:04

Catatan Harian.

Kutub selatan merupakan tempat yang paling menggiurkan, membuat kaki saya seakan bergetar. Tak sabar rupanya menjejak di sana seakan daya magnetnya menarik dan menarik begitu kuat. Lalu saya akan berbincang dengan para penguin dan sekelompok singa laut berkulit licin . Saya bicara, mereka bicara. Saya mengangguk, mereka mengangguk. Kami tidak saling mengerti bahasa, tapi itulah yang terbaik sehingga saya tak menyakiti dengan kata-kata dalam bahasa saya, dan mereka tak menyakiti dengan kata-kata dalam bahasa mereka. Saya akan menangis dan mereka akan diam saja. Saya akan mengutuk dan mereka akan mengangguk-angguk sambil makan ikan. Tapi ini yang terbaik. Para penguin berenang. Para singa laut duduk-duduk di atas karang es. Saya terbaring diselimuti salju. Kami sama-sama punya kesibukan dan tak terlalu peduli dengan aktivitas yang lain. Benar-benar ini lah yang terbaik. Walau sehari, saya ingin ke kutub selatan. Setelah itu bila saya pulang dan kembali saling mengerti bahasa, saya tak peduli! Saya mau ke kutub selatan!

Bertanya-tanya kenapa saya ingin ke sana? Karena di bagian bumi yang saya jejak terasa panas membakar. Saya ini es, maka saya tidak cocok dekat-dekat api. Saya dingin dan rapuh, saya ini es, ingat? Jentikkan sedikit api ke hati saya, dan saya akan meleleh. Butuh waktu lama untuk membuat tetesan-tetesannya kembali menjadi es, bukan?

Ahh, sedikit saja api-api menyakiti saya, saya akan menetes, terus, terus dan terus. Mereka jahat pada saya, mereka menakut-nakuti saya. Saya mengerti bahasa mereka, dan mereka mengerti bahasa saya, tapi kami tidak saling memahami. Namun saya benar-benar tidak peduli!

Saya tidak mau menjadi pembuat onar. Saya tidak mau menjadi pengadu. Saya tidak mau menjadi ilalang di antara bunga-bunga musim semi, yang merusak keindahan dan akhirnya dicabut, dibuang! Para api sangat mempesona, punya kuasa yang banyak, sangat banyak. Saya mengagumi para api, tapi para api jahat kepada saya. Loh, loh, mengapa saya jadi peduli???

Sebagai es yang rapuh, saya juga labil. Suasana yang tidak mendukung membuat saya naik turun. Kadang suhu saya jauh di bawah nol, kadang mendekati nol. Walaupun suhu saya kurang dingin, saya tetap es. Es yang mencair.

Jadi saya ini peduli atau tidak peduli? Saya ini kan labil, jadi saya bisa pilih-pilih kapan saya mau peduli atau tidak. Jangan coba-coba menasehati saya! Saya benci nasehat, saya bosan dengan kata-kata manis bak kembang gula! Para api menunjuk saya dengan telunjuk mereka, ada juga yang membelai-belai kepala saya. Tapi intinya sama, saya ini kecil dan mereka besar. Saya ini salah dan mereka benar. Saya ini lemah dan mereka kuat.

Mengapa saya menjadi es, wahai Pencipta? Mengapa saya menjadi es di musim panas? Yang dicipta memang tak pantas bertanya kepada sang Pencipta, mengapa ia menjadi ini atau itu. Tapi tolong berikan saya satu alasan. Mengapa saya harus bertahan?

Para api menyakiti saya dengan bahasa mereka. Kadang-kadang saya sedikit berguna, maka mereka sedikit menghargai saya. Tapi saya tidak mau sedikit penghargaan, saya mau banyak kasih sayang!

Ooh Yang Maha Kuasa, mengapakah saya jadi begini? Apa yang telah saya katakan? Apa yang telah saya pertanyakan? Mengapa saya peduli pada para api, tapi tidak kepada Mu?

Untuk siapakah ini semua? Seluruh usaha dan pikiran juga hati dan hidup saya? Benarkah untuk para api? Waktu yang sangat lama untuk menyadari, bahwa saya hanya menyenangkan para api. Para api yang membuat saya sedih.

Bapa, jika saya mengingat Mu, maka luluhlah hati saya. Engkau mengerti dan memahami bahasa saya. Engkau berbicara dengan bahasa kasih. Kadang saya tidak mengerti, juga tidak memahami, karena saya menyimpan amarah yang begitu kuat pada para api.

Ya Bapa, tidaklah saya terlalu peduli lagi pada apa yang mungkin para api lakukan dan katakan pada saya di kemudian hari. Tapi saya peduli pada apa yang Engkau katakan dan lakukan pada saya. Saya bertahan karena Mu, dan saya akan bertahan untuk Mu. Biar es menjadi pendingin bagi api, hingga terjadi harmonisasi yang menciptakan kesejukan, bagi kemuliaan Mu.

Saya masih ingin ke kutub selatan, hanya sebentar, benar-benar sebentar. Hanya melambaikan tangan kepada para penguin dan singa laut berkulit licin, lalu saya akan kembali ke musim panas dan tidak lagi mengangankan salju.

Ketika.. Berubah 00:56

Cerpen.

“Mitaaa!! Tau gak siiih? Rena udah punya cowo loh!!”

“Hah! Yang bener Na?”

Mataku melotot tanda tak percaya. Luna mengangguk penuh semangat.

“Gak nyangka ya Ta, temen baik kita, si Rena yang kalem banget itu punya cowo juga. Gue kira dia bakal jadi perawan seumur idup. Hehe..”

Aku hanya tertawa garing.

“Kemaren gue ketemu Lulu di mall, ya ampuuun Ta, sekarang dia charming banget! Rambutnya di smoothing, pake high heels, oke deh!”

Aku diam saja.

“Oiya, katanya si Dodo udah jadian sama Mona. Lu tau gak Ta?”

“Oh, tau”, aku menjawab singkat. Luna melanjutkan celotehannya.

“Dodo yang item, belo, jadian juga Ta!! Hahaha.. Sorry sorry gue bukannya ngejek Dodo, tapi bener kan Dodo itu, emm.. Apa ya? Kurang cakep, hehehe… Udah gitu dia kan grogi banget kalo deket-deket Mona. Dari jaman SMA kelas 2 cintanya sama Mona tak lekang oleh waktu! Hahaha..”

Aku hanya menghela napas panjang.

“Lu kenapa Ta? Magh lu kambuh?”

Aku menggeleng.

“Jangan-jangan… Lu naksir Dodo yaa?!”

Aku menghela napas lagi. “Gak lah Na”.

“Terus?”

Beberapa menit aku diam saja sambil sesekali menghela napas. Luna menunggu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Luna memang agak cerewet, aku benar-benar yakin dia akan menjadi salesgirl yang sukses besar seandainya dia mau jadi salesgirl. Tapi di sisi lain Luna adalah gadis yang sabar, bijak, benar-benar pendengar yang baik.

“Gue… Gue kangen Na sama yang dulu”.

Luna tetap diam. Aku melanjutkan kata-kataku.

“Hhh… Gue ngerasa semua orang udah berubah. Jadi orang-orang yang beda, yang gak lagi gue kenal. Maksud gue, Dodo, Mona, Tasya, Citra, Rena, mereka… Lu ngerti kan Na?”

Luna mengangguk kecil.

“Seminggu yang lalu gue ketemu Ratna. Gue udah heboh nyapa dia, setahun gak ketemu wajar lah gw excited banget. Terus dia datar aja gitu nyapa gue. Dan lu tau? Dia cuma ngomongin soal merk sepatu, tas, dan sebagainya yang boring abis!”

Aku meneguk habis orange juice yang dihidangkan Luna, lalu melanjutkan keluh-kesahku.

“Gue pengen balik ke jaman SMA Na, waktu kita masih kompak, masih ngerjain school project, masih aktif di Rohkris, makan di kantin, bahkan gue kangen sama ulangan fisika yang bikin gue demam tiga hari dua malam.”

“Gue gak pernah berubah Na, sayang gue ke mereka gak pernah berubah. Lu percaya kan Na?”

Luna tersenyum simpul. Manis sekali.

“Lu inget gak Na waktu kita keujanan, si Rena doang yang bawa payung. Akhirnya kita berlima pake itu payung, sama aja boong lah! Terus waktu si Ratna kekunci di kamar mandi kolam renang, sampe kita harus manggil mas-mas penjaga kolamnya buat nyelamatin si Ratna! Hahahaha!”.

Luna ikut tertawa.

“Terus Na, si Tasya pake kaos kaki warna-warni pas upacara. Sebelah kiri putih, yang kanan merah menyala. Huahahaha”.

Kami berdua tertawa histeris.

Setelah aku berhasil mengendalikan diri, aku melanjutkan kata-kataku.

“Tapi sekarang semuanya berubah. Gue… Gue…”

Luna menggenggam tanganku. Matanya teduh.

“Gue salah ya Na kalo kangen sama masa dulu? Berharap mereka gak pernah berubah?”

Beberapa saat kami hanya diam, lalu Luna menjawab lembut, “Lu gak salah kok Ta, kangen sama temen-temen deket kita, berarti lu bener-bener sayang mereka. Berharap mereka gak berubah, itu karena lu kenal baik sama mereka, karena mereka udah jadi temen-temen yang baik dan berarti buat lu tanpa mereka harus jadi orang yang berbeda.”

Aku tertunduk diam.

“Tapi Mita sayang, setiap orang punya jalan hidup masing-masing, dan selalu ada pilihan di jalan itu.”

Aku berkata lemah, “iya ya Na, dan pilihan gue adalah terikat pada masa lalu.”

“Padahal”, Luna melanjutkan.

“Padahal gue punya pilihan untuk jadi Mita yang gak melulu mengenang, yang gak selalu berharap semua orang harus jadi sesuai keinginan gue.”

“Dan?” Luna kembali melanjutkan.

“Dan ngelanjutin jalan hidup gue tanpa tersiksa sama kenangan masa lalu”.

Luna tersenyum lebar. Dia merangkul bahuku.

Aku kembali berkata “Semua temen-temen kita pasti lagi berjuang buat masa depan mereka. Ratna yang kuliah di Bandung, Rena calon bidan, Dodo calon arsitektur, Tasya calon direktur…”.

“Mita calon dosen”, Luna memotong perkataaanku sambil nyengir lebar. Aku tertawa geli.

“Nah, kita juga harus berjuang buat masa depan kita, jangan mau kalah sama jagoan-jagoan yang tadi lu sebutin”. Luna mengepalkan tangannya sebagai tanda memberikan semangat. Aku kembali tertawa.

“Sekarang tau kan apa yang harus kita lakuin?” Luna berkata sambil tersenyum simpul. Aku mengangguk penuh semangat.

Di kamar Luna, aku dan Luna bersama berlutut. Kedua tangan kami terlipat, kami bersama berdoa.

Doaku, “Tuhan Yesus, sungguh kami bersyukur untuk setiap waktu dan kesempatan yang Kau berikan pada kami. Saat ini kami mau berdoa untuk Ratna, Rena, Tasya, Dodo, Mona, dan semua teman-teman yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Bapa, kiranya kau berkati hari-hari mereka, masa depan, harapan mereka, dan jadikan mereka menjadi seperti yang Bapa mau. Juga berkati Luna yang selalu menjadi sahabat baikku. Untuk setiap kenangan, cinta, dan semua orang yang Bapa tempatkan dalam hidup kami, kami berterima kasih. Kuatkan dan teguhkan kami ya Tuhan, walaupun orang-orang di sekitar kami berubah, satu yang pasti, yang kami rasakan dan percaya, kasih-Mu tak pernah berubah untuk selama-lamanya. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, Haleluya, Amin.”

Aku, Yang Baru 00:45

Cerpen.

Jendela kamarku bergetar saat aku membanting pintu kamar dengan rasa kesal yang tak tertahankan lagi. Bantal mickey mouse ku pakai sebagai peredam tangisku. Sebenarnya aku dapat menangis sepuasnya, sekerasnya, sampai aku mual, berguling dari satu pojok ke pojok yang lain dalam kamar ini. Tapi aku sudah terbiasa menangis dalam diam, bahkan saat tak ada seorang pun dalam rumah ini. Aku terbiasa sendiri, itu menjadi bagian hidupku.

Setelah minum empat gelas air putih, aku merasa lebih baik. Namun, rasa kesal dalam hatiku tak juga hilang. Meyna, teman yang dahulu kuanggap bak malaikat , lagi-lagi membuatku muak! Saat pulang kuliah tadi, Meyna meminta Andrew untuk mengantarnya pulang. Dan Andrew dengan muka malu-malu, mengiyakannya. Segera saja ku tarik tangan Meyna, dan meminta penjelasannya di pojok tempat parkir. Tentang fotonya dan Andrew dalam dompet pinknya, tentang sms dari Andrew, tentang kebenaran gosip yang beredar kalau dia dan Andrew sudah jadian, bahkan Meyna sendiri yang menyatakan cinta! Lututku lemas saat Meyna dengan senyum di bibir mungilnya mengatakan padaku bahwa itu semua benar. Dia juga bilang bahwa ia menyesal. Menyesal karena Andrew memilihnya, menyukainya, bukan memilihku yang telah memendam rasa pada Andrew selama dua tahun ini!

Semua kesalahan dan kelicikan Meyna, tiba-tiba saja berdesing dalam otakku. Dia menumpahkan vanila latte di rok biru kesayanganku, menjiplak karya ilmiahku, mematahkan pensil mickey mouse milikku. Ingin sekali aku meninggalkannya sendiri di hutan Kalimantan, dan tertawa terbahak-bahak saat dia berteriak-teriak karena takut ulat-ulat pohon dan takut dicakar singa.

Setelah puas membayangkan hal-hal yang buruk pada Meyna, aku mulai berkhayal menjadi seorang gadis secantik Lisa, primadona kampusku. Aku bahkan membayangkan membawa BMW hitam mengkilat ke kampus seperti milik Jenny, dan otakku secerdas Via. Tidak, tidak, maksud ku lebih dari Lisa, Jenny, atau Via. Aku sangat mengagumkan dan banyak yang mengejarku. Dan Andrew memohon-mohon supaya aku jadi pacarnya, tapi aku akan pergi dengan orang lain, bahkan dengan wajah cantikku, aku pantang melihat Andrew.

Tak lama setelah itu, aku menyesali nasibku sebagai ”Vera Arliana”, gadis biasa, dengan kemampuan otak yang menyedihkan. Sebagai anak pertama dan memiliki tiga orang adik, aku di tuntut menjadi ”luar biasa” oleh papa dan mama. Aku sangat akur dengan adik-adikku, dapat dikatakan kami hampir tidak pernah berbicara. Siang sampai sore hari, mama biasa berkeliling untuk menjual baju-baju, yang hasilnya dipakai untuk membeli kosmetik, bahkan perhiasan untuk dirinya sendiri. Papa menghabiskan malam-malamnya di pos ronda, bermain kartu. Adik-adikku lebih sering berada di rumah tante, tiga blok dari rumah kami, daripada di rumah kecil ini.

Dan oh ya, kami keluarga Kristen. Kami pergi ke gereja setiap minggu, hanya tubuh kami yang pergi, otak dan hati kami berada di tempat lain. Aku pribadi tidak pernah benar-benar serius mengikut Tuhan. Papa dan mama akan meledak bila anak-anaknya tidak gereja, mereka bilang gereja itu rumah Tuhan, jadi sekali-kali kami harus mengunjungi Tuhan sebagai ucapan terimakasih karena telah memberi kami makan. Alasan sebenarnya : papa dan mama malu bila tidak gereja, karena Gembala kami adalah pemilik kontrakan rumah kami. Jadi, gereja hanya semata-mata rutinitas bagiku.

Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada kisah yang semalang kisahku? Sakit hati dan amarah melebur menjadi kekecewaan yang sangat besar. Aku tidak berguna, aku menyedihkan dan kalah.

Aku belum pernah terpuruk seperti ini sebelumnya, Namun entah mengapa justru pada saat paling kelam inilah aku malah menyebut nama Yesus. Tidak ada kata lain selain “Yesus, Tuhan Yesus” dan air mataku terus mengalir. Lalu seakan-akan aku mendengar lagu-lagu gereja. Setelah beberapa jam, aku masih saja menangis, dan tiba-tiba saja aku bilang “aku percaya pada-Mu”.

Setelah itu, aku mulai sering membaca Alkitab. Mazmur menjadi favoritku. Awalnya aku ragu untuk ikut. ibadah pemuda-pemudi, tapi teman-teman gerejaku tak pernah putus asa mengajakku ikut persekutuan. Dan hey, ternyata ini menyenangkan. Aku mengikuti banyak KKR. Aku mulai belajar melayani, padahal awalnya aku sangat malu karena aku merasa tak mahir dalam bidang apapun, baik musik, olahraga, dan pemahaman tentang Alkitab pun terbatas. Tapi kak Meyla mengatakan padaku bahwa aku mempunyai talenta di bidang seni lukis dan kreativitas. Ya, aku memang senang menggambar, tak kusangka goresan-goresan tanganku terpampang di mading gereja. Kini aku menjadi koordiator mading dan buletin pemuda-pemudi sekaligus menjadi tim kreatif dalam banyak event gereja. Bahkan pernah satu kali aku ditawari untuk menjadi tim kreatif inti sebuah konser besar rohani di Senayan.

Perlahan-lahan aku mulai menyadari bahwa hidupku sangat diberkati Tuhan. Aku sedang menyelesaikan skripsiku dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 bahkan sebelum aku diwisuda! Hubunganku dengan papa dan mama semakin baik, aku juga semakin sering berkomunikasi dengan adik-adikku. Aku pun sedang belajar untuk mengampuni orang-orang yang pernah menyakiti hatiku. Ingin sekali aku minum vanila latte dengan Meyna dan melupakan kesalahan kami di masa lalu, tapi sayang, Meyna sudah pindah ke Lombok bersama keluarganya. Dan ah ya, Andrew sudah jadian dengan adik kelasnya. Aku masih single, tapi aku yakin dan percaya, Allah yang luar biasa sudah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku.

Aku tidak selalu kuat. Kadang aku putus asa, merasa useless, bahkan hampir-hampir menyalahkan Tuhan. Aku masih bergumul tentang keluargaku agar kami dapat sungguh-sungguh menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kami. Banyak tantangan yang aku dan keluargaku alami dalam keseharian kami. Puji Tuhan, kami selalu dikuatkan dan diingatkan bila kami coba-coba keluar dari jalan Tuhan.

Tidak dapat kuungkapkan rasa syukurku dan cintaku pada Allah. Dia tidak membuatku menjadi orang yang biasa-biasa saja, tapi justru dalam kelemahanku, aku semakin melihat kemuliaan-Nya.

2 Korintus 12:9

Tetapi jawab Tuhan kepadaku : ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Ya Tuhan, saat Kau yang mengangkatku, takkan ada yang dapat merendahkanku. Aku percaya itu, karena aku pun telah mengalaminya.

Kepada yang Tercinta 00:59

Puisi.

Batu
Lemparkan padaku
Atas hitam dan merah
Yang kugambar dalam hina

Tusukkan tombak!
Ke tengah jantung
Karena hati yang mendua
Tergantung pada cela

Paku
Untukku!
Payah akan cambuk
Darah atas kayu
Tertekan, derita
Aku!
Harus aku!

Yang Kau beri malah
Cinta…

Tersengat benci
Sumpah serapah mengutuk
Bumi menolak
Langit berpaling

Kau tetap
Setia…

Harusnya aku!
Yang hancur
dan luka dalam parah

Yang Kau beri malah
Hidup…

Hukum Kau tanggung
Ganti cinta
Hormat, suka dan kagum
Syukur penuh atas salib
Dan Setia
Dan Kasih
Dan Anugerah-Mu

Yesus….