Hatimu, Ibu.. 01:12

Cerpen.

Untuk semua Mama, selamat “Hari Mama”. Pelbagai wejangan yang kami (benar, kami semua) terima, membuat kami semakin dewasa. Walaupun sedikit banyak kami membuat hari-hari Mama menjadi sepuluh kali lebih berat, Mama asyik2 saja tuh. Mama bukan Mama yang sempurna, tapi pasti yang terbaik yang kami miliki :). Sejuta sayang dari kami untuk semua Mama :)

Ibu, kita hidup dalam dunia patriarki, dimana kaum Adam lebih tinggi dari kaum Hawa. Lebih tinggi dari derajat, hak, dari cita-cita hidup. Apakah derajat? Hanya manipulasi yang mengatasnamakan kemanusiaan dalam hal tinggi dan rendah hidup manusia. Bahkan hak terdengar sebagai gema tanpa getaran, tak ada dampak, tak ada keseimbangan.

Mengapa tidak apa bila Ibu mencuci pakaian di rumah tetangga untuk makan hari ini, dan haram bila Ayah melakukan hal yang sama? Mengapa Ibu berkeringat dan Ayah tidur-tiduran di depan TV? Mengapa cap merah tangan Ayah boleh tergambar dalam pipi Ibu sedangkan Ibu hanya boleh diam, mengeluarkan air mata diam-diam?

Kita ini laksana pemain cadangan dalam sebuah pertandingan sepakbola, yang setelah berpeluh dan berlatih habis-habisan bahkan tak pernah menjejak rumput dalam satupun pertandingan. Kita ini bak karyawan yang duduk paling belakang dalam sebuah rapat yang kurang penting (karena bila rapat penting, jangan harap kita diundang) yang setelah lembur berminggu-minggu dan kantong mata lebam, bengkak, tak kunjung disebut namanya.

Ibu memasak. Ibu memperbaiki atap. Ibu mencuci di rumah tetangga. Ibu di dapur, di kamar, di kebun, di atap, Ibu dimana-mana. Ibu tidak makan, tidak apa-apa. Ayah belum disiapkan makan, ini bahaya.

Tak pernah Dinda sesalkan Ibu adalah seorang perempuan. Dinda hanya hancur, hanya tak berdaya. Apakah revolusioner yang menyerukan pembebasan? Kita ini masih terkungkung dalam sebuah tembok batako yang bernama keluarga, yang beratap kekhawatiran tentang apa yang akan kita makan. Kita kaum feodal, dipimpin oleh para bangsawan. Sistem tirani, jangan pernah sebut demokrasi!

Oalah Ibu, hentikan cintamu! Ayah tak akan pulang, hari ini, esok, lusa. Mengapa Ibu masih bersimpuh dan menyebut “suamiku” sambil meringis? Pikiran Dinda bias. Katakan pada Dinda dengan pelan dan lambat-lambat agar Dinda mengerti, kenapa Dinda harus menyapanya dengan kata “Ayah”? Ooh tidak Ibu, Dinda tidak membencinya, karena bahkan Dinda tidak mengenalnya.

Sekali lagi Ibu, tolong hentikan cintamu. Lutut Ibu sudah lecet dan harus segera diobati. Hati Ibu patah dan harus segera dilem. Dinda sudah mencoba untuk waktu yang cukup lama menyebut “Ayah” sambil bersimpuh, namun pintu tak kunjung terbuka dan menampakkan bayangnya. Mengapa Ibu, hatimu sekeras baja? Pikirmu seteguh tanduk rusa? Imanmu, ahh bagaimana Dinda menggambarkannya? Apakah Ayah akan pulang Ibu? Ahh, Dinda jadi berharap lagi...

***

Dinda, Ayah dan Ibu adalah satu, jadi bagaimana Ibu dapat berhenti lalu bersantai sambil minum kopi sedangkan separuh dari Ibu sedang mencari-cari jalan pulang? Ayah bukannya tak mau pulang, Ayah hanya sedikit lupa jalan pulang. Ibu tak boleh tertidur, karena saat Ayah pulang nanti, Ibu harus sudah ada di pintu untuk menyambutnya masuk. Ibu dan Ayah akan sangat senang bila Dinda mau bersama-sama menyambut Ayah di pintu. Kami adalah satu, kami sudah berjanji. Ohya, soal mencuci itu tidak jadi soal, bagaimana ya Dinda, habis Ibu senang melakukannya. Ahh Ibu jadi berdebar-debar, siapkan dirimu sayang, Ayah segera pulang.

Lengkung Sempurna 01:11

Cerpen.

Rena kecil bersandar pada kursi kesayangannya. Matanya yang bulat bercahaya memandang rintik-rintik hujan yang turun dengan rapi dari langit. Rambutnya bak tirai hitam kemilau tertimpa sinar lampu, beberapa helai rambut terurai pada pipinya yang lembut dan merah jambu. Bibir tipisnya melantunkan lagu yang dikarangnya sendiri. Dua ibu jari tangan yang dimilikinya, hanya dua dari sepuluh yang seharusnya, bergerak-gerak seirama seturut alunan lagu yang dinyanyikannya.

Matanya terbelalak kagum saat seberkas warna pelan-pelan muncul di langit. Melengkung sempurna dengan kemilau jingga, hijau, merah jambu dan biru. Rena kecil menempelkan wajahnya pada kaca jendela, ingin melihat lebih jelas rupanya. Rena kecil berusaha turun dari kursi kesayangannya, tapi ia tidak punya jemari kaki, juga telapak kaki. Beruntung sang Ibu datang tepat waktu dan membawa Rena kecil menuju beranda untuk melihat lengkung sempurna di langit.

“Ibu, siapa yang menggambar langit dengan crayon?” Rena kecil bertanya pada Ibunya.

“Oh, Seorang yang sangat luar biasa”. Ibunya menjawab sambil membelai rambutnya bak tirai hitam kemilau yang tertimpa sinar lampu.

“Benarkah?”

“Tentu sayang”.

“Mengapa Dia menggambar di langit? Rena punya buku gambar yang bagus”.

“Mengapa? Agar semua orang dapat melihat keindahannya, Rena sayang”.

“Rena senang melihatnya”.

“Ya, Ibu juga”.

“Oh, Rena ingat sekarang. Pasti yang menggambar itu adalah Tuhan yang seringkali Ibu ceritakan. Benar kan Bu?”

“Benar, Rena anak pintar”.

“Rena tidak bisa menggambar seindah itu, tapi Tuhan bisa. Pasti ada yang membuat-Nya senang. Rena bisa gambar bagus kalau Rena sedang senang”.

Ibunya tersenyum dan menjawab, “Ya sayang, ada hal besar yang terjadi di Sorga dan membuat-Nya senang. Tahukah Rena apa yang membuat-Nya senang?”

Rena kecil menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Karena ada seorang anak cantik yang sedang melihat ke langit dan senang melihat gambar-Nya”.

“Benarkah Ibu?”

“Tentu sayang, dan apakah Rena tahu yang lebih indah dari warna-warna di atas sana?”

Rena kecil kembali menggeleng kuat-kuat.

“Oh, adakah yang lebih indah lagi Ibu?”

“Tentu Rena sayang, yang jauh lebih indah dari warna-warna itu, adalah Rena sendiri”.

Rena kecil terbelalak heran.

“Benarkah Ibu? Rena lebih indah?”

Ibu mengangguk, tersenyum dan berkata, “Tuhan menggambar warna-warna itu untuk Rena, untuk anak tercantik yang sangat disayangi-Nya”.

Rena kecil kembali memandang warna-warna di langit, senyumnya mengembang, lebih indah, jauh lebih indah dari warna-warna di langit sana.

Rena kecil kini sudah besar. Tumpukan diagram dan kertas-kertas penuh garis mengisi hari-harinya. Rena tidur larut, Rena bangun pukul tiga pagi, Rena tenggelam dalam diagram dan kertas-kertas penuh garis. Rena besar bersandar pada kursi kesayangannya, menarik napas sepanjang yang ia mampu. Hujan yang rapi turun dari langit, membawa warna-warna yang membentuk lengkungan dari ujung ke ujung langit yang lain. Rena besar meletakkan penanya dan memandang ke langit. Beberapa kali ia melihat warna-warna di angkasa, tapi semua lengkungan warna tak lagi terasa istimewa pada masa-masanya belakangan. Ia rindu, sangat rindu, memandang warna-warna itu dari mata seorang gadis kecil, memberi waktu yang tulus untuk warna-warna di langit. Ia ingin, sangat ingin, melihat warna-warna menakjubkan dari hati gadis kecil, tak ada kesombongan, hanya kekaguman.

Mutiara menitik dari mata Rena yang bulat bercahaya. Rena rindu hari-harinya yang teduh, Rena rindu Ibu. Seperti bunga mawar dengan tetesan embun, Rena tersenyum dan berkata, “Ibu, suatu hari nanti kita akan menikmati kembali warna-warna di langit, bukan hanya kita berdua Bu, tapi kita bertiga. Rena, Ibu, dan Tuhan”.

Rena besar terlelap dalam sejuknya hari setelah rintik-rintik hujan yang rapi. Lengkung sempurna di langit turun ke bumi, dan menetap dalam senyum Rena.

Ketika Es Tak Ingin Bersama Api 01:04

Catatan Harian.

Kutub selatan merupakan tempat yang paling menggiurkan, membuat kaki saya seakan bergetar. Tak sabar rupanya menjejak di sana seakan daya magnetnya menarik dan menarik begitu kuat. Lalu saya akan berbincang dengan para penguin dan sekelompok singa laut berkulit licin . Saya bicara, mereka bicara. Saya mengangguk, mereka mengangguk. Kami tidak saling mengerti bahasa, tapi itulah yang terbaik sehingga saya tak menyakiti dengan kata-kata dalam bahasa saya, dan mereka tak menyakiti dengan kata-kata dalam bahasa mereka. Saya akan menangis dan mereka akan diam saja. Saya akan mengutuk dan mereka akan mengangguk-angguk sambil makan ikan. Tapi ini yang terbaik. Para penguin berenang. Para singa laut duduk-duduk di atas karang es. Saya terbaring diselimuti salju. Kami sama-sama punya kesibukan dan tak terlalu peduli dengan aktivitas yang lain. Benar-benar ini lah yang terbaik. Walau sehari, saya ingin ke kutub selatan. Setelah itu bila saya pulang dan kembali saling mengerti bahasa, saya tak peduli! Saya mau ke kutub selatan!

Bertanya-tanya kenapa saya ingin ke sana? Karena di bagian bumi yang saya jejak terasa panas membakar. Saya ini es, maka saya tidak cocok dekat-dekat api. Saya dingin dan rapuh, saya ini es, ingat? Jentikkan sedikit api ke hati saya, dan saya akan meleleh. Butuh waktu lama untuk membuat tetesan-tetesannya kembali menjadi es, bukan?

Ahh, sedikit saja api-api menyakiti saya, saya akan menetes, terus, terus dan terus. Mereka jahat pada saya, mereka menakut-nakuti saya. Saya mengerti bahasa mereka, dan mereka mengerti bahasa saya, tapi kami tidak saling memahami. Namun saya benar-benar tidak peduli!

Saya tidak mau menjadi pembuat onar. Saya tidak mau menjadi pengadu. Saya tidak mau menjadi ilalang di antara bunga-bunga musim semi, yang merusak keindahan dan akhirnya dicabut, dibuang! Para api sangat mempesona, punya kuasa yang banyak, sangat banyak. Saya mengagumi para api, tapi para api jahat kepada saya. Loh, loh, mengapa saya jadi peduli???

Sebagai es yang rapuh, saya juga labil. Suasana yang tidak mendukung membuat saya naik turun. Kadang suhu saya jauh di bawah nol, kadang mendekati nol. Walaupun suhu saya kurang dingin, saya tetap es. Es yang mencair.

Jadi saya ini peduli atau tidak peduli? Saya ini kan labil, jadi saya bisa pilih-pilih kapan saya mau peduli atau tidak. Jangan coba-coba menasehati saya! Saya benci nasehat, saya bosan dengan kata-kata manis bak kembang gula! Para api menunjuk saya dengan telunjuk mereka, ada juga yang membelai-belai kepala saya. Tapi intinya sama, saya ini kecil dan mereka besar. Saya ini salah dan mereka benar. Saya ini lemah dan mereka kuat.

Mengapa saya menjadi es, wahai Pencipta? Mengapa saya menjadi es di musim panas? Yang dicipta memang tak pantas bertanya kepada sang Pencipta, mengapa ia menjadi ini atau itu. Tapi tolong berikan saya satu alasan. Mengapa saya harus bertahan?

Para api menyakiti saya dengan bahasa mereka. Kadang-kadang saya sedikit berguna, maka mereka sedikit menghargai saya. Tapi saya tidak mau sedikit penghargaan, saya mau banyak kasih sayang!

Ooh Yang Maha Kuasa, mengapakah saya jadi begini? Apa yang telah saya katakan? Apa yang telah saya pertanyakan? Mengapa saya peduli pada para api, tapi tidak kepada Mu?

Untuk siapakah ini semua? Seluruh usaha dan pikiran juga hati dan hidup saya? Benarkah untuk para api? Waktu yang sangat lama untuk menyadari, bahwa saya hanya menyenangkan para api. Para api yang membuat saya sedih.

Bapa, jika saya mengingat Mu, maka luluhlah hati saya. Engkau mengerti dan memahami bahasa saya. Engkau berbicara dengan bahasa kasih. Kadang saya tidak mengerti, juga tidak memahami, karena saya menyimpan amarah yang begitu kuat pada para api.

Ya Bapa, tidaklah saya terlalu peduli lagi pada apa yang mungkin para api lakukan dan katakan pada saya di kemudian hari. Tapi saya peduli pada apa yang Engkau katakan dan lakukan pada saya. Saya bertahan karena Mu, dan saya akan bertahan untuk Mu. Biar es menjadi pendingin bagi api, hingga terjadi harmonisasi yang menciptakan kesejukan, bagi kemuliaan Mu.

Saya masih ingin ke kutub selatan, hanya sebentar, benar-benar sebentar. Hanya melambaikan tangan kepada para penguin dan singa laut berkulit licin, lalu saya akan kembali ke musim panas dan tidak lagi mengangankan salju.