Aku Rindu.. 01:59

Cerpen.

Hari-hari seperti ini datang lagi, saat gemuruh menderu jantungku, saat pikiranku kalut dan hatiku ciut, sepi menjalari tiap tulang, mataku terpejam dan kemudian terbuka, aku tak dapat terlelap, tak dapat pula untuk tetap terjaga, aku rindu kekasihku...

Maaf, maaf... Untuk kesekian kalinya aku terbenam dalam makalah dan berita yang harus kumuat dalam buletin kampus, dan karena itu aku belum sempat menjawab pesan kekasihku, belum dapat menemui kekasihku, kini aku rindu dan aku kalut...

Percayalah, kertas-kertas berisi berita yang membuatku menutup mata empat jam setiap harinya, tak dapat merenggut waktuku lebih lama lagi. Karena sehebat apapun berita yang kususun, tak pernah sehebat kisahku dengan kekasihku. Aku rindu...

Penaku menari dan memercikkan tinta tentang cinta, suaraku mengalun dan membisikkan nama kekasihku. Aku tersenyum mengingat masa-masa indah, masa-masa paling luar biasa dalam hidupku. Saat kisah kasih goyah, kekasihku selalu meyakinkanku bahwa akulah yang tercinta, dan semua akan baik-baik saja. Betapa lembutnya kekasihku, betapa herannya aku. Kekasihku membuatku istimewa, membuatku menjadi wanita seutuhnya, karena aku memiliki seluruh cinta kekasihku. Bagiku, tiada yang lain, menempati posisi nomor satu dalam hatiku, satu-satunya tempat dalam pikiranku, pertama dan terakhir dalam hidupku, hanya kekasihku, yang tercinta, yang antara aku dan kekasihku saling memiliki, kisah cinta termegah.

Rinduku sepenuh mati, bukan separuhnya lagi.

Sungguh aku tidak perduli, apakah berita yang membuat ku hanya terpejam empat jam setiap harinya, akan diwartakan atau tidak. Aku benar-benar tidak mau tahu, apakah guru besar pemimpin redaksi akan memuji atau menertawakan artikelku. Hal itu terasa sangat tidak berguna, saat waktuku tak lagi kunikmati bersama kekasihku.

Rinduku mengiris sendi, tidak hanya tergores lagi.

Aku sangat rindu pada Mu, Yesusku.

Untuk yang Lebih dari Permata 01:56

Cerpen.

Kasihan kau, Via. Kau begitu tergila-gila pada seorang pria yang tidak akan pernah kau miliki. Pria itu berhidung mancung, selalu dengan kemeja yang licin. Tingginya tak lebih dari 170 cm, dagunya runcing dan itu membuat ketampanannya semakin kuat. Sebagian rambutnya berwarna hitam dan sebagian berwarna putih. Matanya ramah dengan kerutan di sekelilingnya. Bila pria itu tersenyum, kerutan di sekitar bibirnya akan tertarik. Pria itu humoris dan cerdas. Ia bijak dan berwibawa. Karena ia seorang Pendeta yang sudah berkeluarga, maka kau tidak akan pernah memilikinya.

Kasihan kau, Via. Hatimu tertancap pada seorang pria yang tak mungkin kau raih. Pria itu bermata tajam, dan mata itu memancarkan kecerdasan dan wibawa tiada tara. Kacamata tanpa bingkai membuat pesonanya semakin menjadi-jadi. Suaranya merdu dan senyumnya luar biasa dengan lesung pipinya. Tingginya tak lebih dari 170 cm dan ia berkulit coklat. Setiap kali pria itu berbicara dengan buku di tangannya, kau akan tahan diam dengan fokus yang sulit dipercaya selama dua jam pelajaran, sesuatu yang tidak biasa untuk gadis tujuh belas tahun seperti mu. Hampir tiap malam kau membaca buku yang selalu dipegang pria itu saat mengajar di kelas, dan karenanya kau hampir hapal isi buku tersebut.

Via, malang benar kau. Berpikir kalau ini tidak wajar dan kau merasa sedih. “Kenapa bukan pemain basket, atau seorang anggota OSIS yang aku sukai?” demikian kau terus berpikir dan makin lama kau makin terpuruk saja. Kau merasa berbeda, merasa aneh, karena pria dalam hatimu adalah pria yang sudah berkeluarga dan pria dengan selisih usia dua puluh tahun.

Setelah sedih yang berkepanjangan, kau sadar bahwa... Bahwa sudah lama sekali kau berangan-angan “seandainya, ya seandainya, Ayahku seperti dia”. Ah Via, air matamu mengalir lagi, saat kau sadar bahwa... Bahwa kau menginginkan sosok Ayah berhidung mancung dengan senyum ramah. Atau Ayah dengan mata tajam nan cerdas dan penuh wibawa. Kini kau tidak lagi merasa aneh, tapi kau hancur. Kenyataan, perasaan, dan keinginan membuat kau semakin sedih. Kau memiliki Ayah yang luar biasa tampan, itu pendapat semua orang. Tapi bahkan ketampanan tak akan pernah menyembuhkan luka pada punggungmu, luka yang terbentuk dari ikat pinggang Ayah. Tidak pula luka pada hatimu, yang kian lama kian sakit. Ah Via, kasihan benar kau...

Akan menjadi orang tua seperti apa kita nanti? Mungkin hal itu masih jauh dari pikiran dan angan-angan, masih sepuluh, delapan, atau lima tahun lagi saat kita berkeluarga. Akankah yang lebih dari permata, yang kita nantikan dalam kehidupan keluarga kita kelak, yakni anak-anak kita, mengalami kepahitan yang anak-anak lain rasakan atau yang pernah atau sedang kita alami? Bukan hal yang terlalu dini bagi kita untuk belajar menjadi seorang yang penuh kasih dan menjadi peduli. Walau masih sepuluh, delapan, atau lima tahun lagi, untuk yang lebih dari permata dalam kehidupan berkeluarga kita kelak, yakni anak-anak pilihan-Nya, anak-anak yang lebih dari permata bagi Tuhan dan yang begitu dikasihi-Nya melebihi apapun.