Surat Cinta Untuk Mama 04:52

Catatan harian.

Sebelumnya tak pernah terlintas bahkan dalam semenit waktu yang dianugerahkan Tuhan pada saya,, bahwa saatnya tiba juga untuk mengungkapkan sebuah kejujuran yang agak segan saya sampaikan, pada Mama, seorang yang darah dan DNA-nya menari-nari dalam tubuh saya, seorang yang lebih dari “istimewa”, seorang yang merajut hari-hari saya, sampai hari ini, hari di mana saya cukup berani untuk “melindas” setumpuk gengsi. Nah, inilah saatnya…

Sembilan belas tahun bukan waktu yang singkat sama sekali. Namun tak pernah sekalipun adegan kekerasan antara Ibu dan anak di sinetron terjadi antara Mama dan aku (syukurlah kita gak pernah nonton sinetron ya, Ma). Bingung juga rasanya memenuhi apa yang aku sebut sebagai “proyek kejujuran” ini. Bukan karena aku ga tahu apa yang harus aku tulis, tapi karena terlalu banyak hal tentang Mama. Ya, terlalu banyak Ma...

Suatu malam aku bermimpi melihat pelangi yang dikelilingi bintang-bintang. Seseorang memangku dan merangkulku. Tangannya hangat dan lembut. Dalam mimpi itu aku ga pernah lihat wajahnya, tapi aku tahu, seseorang itu adalah Mama. Adalah rangkulan, sentuhan, keberadaan Mama yang membuat aku aman dan nyaman saat aku berpikir akan meninggalkan dunia ini karena sakit yang amat sangat. Kenakalan masa kecil yang masih berbekas saat darah mengalir deras dari hidungku, darah bertetesan dari pelipis, lutut, dan bagian tubuh yang lain, semuanya menjadi baik-baik saja kerena Mama.

Aku mengeluh dari pagi hingga malam, hingga pagi lagi ketika aku pilek. Mama tetap mencuci piring saat asam urat kambuh, tetap memasak walau gula darah meroket, bahkan kami tidak tahu Mama sakit karena Mama tidak mengeluh! Saat aku dirawat di rumah sakit selama lima hari, beberapa malam Mama ga tidur karena memijiti kepalaku, tanganku, semua bagian tubuh yang terasa sakit.. Mama ga pernah mengeluh bahkan saat Mama tidur di lantai hanya dengan kain tipis sebagai alas di bawah bekunya udara AC.

Mama menemaniku mengerjakan tugas sampai jam setengah empat pagi. Mama mencabut dulu kabel setrika untuk memasakkan sarapan yang sebenarnya bisa aku lakukan sendiri, hanya saja aku tidak mau masak! Mama duduk di dekat pintu untuk menungguku pulang padahal belum lewat jam sepuluh malam.

Tanpa segan aku menceritakan tentang para pria yang mencoba mendekatiku, dan menyimak dengan penuh konsentrasi tentang tipe pria seperti apa yang Mama inginkan untuk menjadi pasanganku.

Rahasia yang ga pernah aku sangka, Mama ceritakan padaku. Jantungku berdegup kencang saat Mama membagikan kisah tentang betapa kacaunya keluarga ini dan Mama tetap bertahan. Aku tahu masih banyak cerita, tapi Mama menyimpannya sampai aku siap.

Betapa sakitnya hatiku saat mendapati Mama menangis, sendiri, tanpa suara, agar tak seorangpun dari keluarga ini mengetahui bahwa Mama sedang menangis. Mama selalu menyimpan beban dan masalah untuk Mama sendiri. Menyimpannya sehingga sakit dalam tubuh dan hati Mama menjadi milik Mama sendiri. Itu sama sekali ga baik Ma!! Kita adalah satu keluarga, dukacita adalah dukacita bersama, sukacitapun kita rasakan bersama. Jadi tolonglah, bagikan kesusahan Mama pada kami, karena kami perduli, kami ingin berbagi.

Aku selalu merasa, Mama lebih mementingkan orang lain ketimbang kepentingan Mama sendiri. Seperti tak ada lelahnya Mama membantu, bahkan bila itu membuat Mama kelelahan, darah tinggi, asam urat, kolesterol, diabetes, dan segala macam penyakit membuat Mama sakit. Bukannya kami melarang Mama untuk membantu orang lain, tapi tolonglah Ma, jaga kesehatan Mama. Sekali lagi tolonglah Ma, ada saatnya Mama beraktivitas, ada saatnya Mama beristirahat.

Satu hal yang aku jamin benar-benar Mama sukai dan ini ga mungkin salah, Mama paling suka memberi, ya kan? Mama memberi bahkan saat tidak diberi, memaafkan hal yang aku tak habis pikir bisa Mama maafkan. Senyum Mama mengembang saat memberi, bukan senyum bangga dan sombong, tapi senyum yang penuh kasih. Banyak anak-anak tetangga yang setelah lelah bermain datang kepada Mama untuk meminta minum, makanan, atau sekedar bermain di ruang tamu. ah, Mama memang terlampau baik.

Mamalah yang pertama kali mengajarkan aku berdoa, yang selalu membujuk aku untuk sekolah minggu ketimbang menonton Doraemon. Mama selalu memberikan kasih sayang yang nyata, yang selalu ada untuk keluarga ini. Mama bersabar di bawah tekanan, bersyukur dalam himpitan.

Telah banyak mengalami kehilangan, ketika anak perempuan kedua Mama, adik perempuan, adik laki-laki, meninggalkan luka mendalam ketika mereka harus pergi dari bumi. Telah banyak berkorban, sebagai anak pertama perempuan (dan tinggal satu-satunya perempuan), Mama rela ga bisa membaca, ga bisa menulis, karena Mama ga sekolah demi semua adik laki-laki Mama.

Seringkali aku membantah Mama, mengatakan bahwa Mama ga mengerti perasaan dan keinginan seorang gadis sepertiku. Dan aku membanting pintu saat berangkat kuliah, ketika sebelumnya berteriak marah. Mama diam saja. Dan ketika aku pulang, Mama tetap menyapa, memintaku untuk makan. Ini terjadi, untuk lima anak Mama yang masih ada di bumi.

Dosenku bilang, melahirkan itu berarti seribu satu rasa sakit. Enam anak itu artinya seribu satu dikali enam rasa sakit. Dan berjuta nyeri di hati Mama dari keluarga ini. Tapi, apa itu? Sebuah tawa selalu ada pada Mama, ah indahnya.

Maaf Ma, untuk setiap kesalahan yang kami lakukan. Aku sayang Mama, kami semua sayang Mama. Tapi sebesar apapun sayang kami, kami ga sepenuhnya memahami Mama. Itu karena, kami belum menjadi orangtua. Maka aku memohon pada Tuhan dengan sangat agar memberi Mama kesehatan, kekuatan, sukacita, sehingga aku dapat berkata pada Mama “oh, begini toh rasanya jadi seorang Mama”. 

Catatan: Tulisan ini adalah salah satu tugas retorika waktu saya semester tiga, tapi ada beberapa hal yang saya tambahi dan saya kurangi. Setelah nulis, tulisan kita wajib dibaca sama para ibu dan setelah itu para ibu menjawab tulisan kita. Berhubung Mama ga bisa baca, jadinya saya bacain sambil malu-malu *hehe*. Jawaban Mama setelah itu adalah: nangis sambil meluk saya :D. Jadi inget waktu keadaan keluarga saya lagi susah-susahnya (kelas satu SMP kalau ga salah) Mama lagi mellow pas masak, saya bacain Matius 6:25-34, Mama nangis juga :D. Dari tulisan ini, ada yang beranggapan bahwa saya anak yang ga tau diri? Wah, sama dong! Saya juga ngerasa ga tau diri :D. Maka saya amat bersyukur, karena ibu seperti apa lagi yang bisa menangani saya? Saya yakin, memang cuma Mama! Mama bukan ibu sempurna yang memiliki segala, tapi adalah Mama terbaik dalam keluarga saya .

2 comments:

Lunniey said...

ya ampun terharu gua bacanya :')
suatu hari aku jg akan menuliskan surat buat mama^^ ehehehhe *untungnya kaga da tugas retorika buat gua xD

Kupu-kupu said...

bikin surat gara2 retorika, haghag!

jgn berdusta lu yak,
pokonya harus nulis :D

biar kompak kita ^^v

Post a Comment